>

Jumat, 17 Oktober 2014

Review Novel The Fault in Our Stars


“The pleasure of remembering had been taken from me, because there was no longer anyone to remember with. It felt like losing your co-rememberer meant losing the memory itself, as if the things we’d done were less real and important than they had been hours before.”
Hazel Grace Lancaster (page 262)

“The world is not a wish-granting factory.”
Augustus Waters (page 214)

“You don’t get to choose if you get hurt in this world... but you do have some say in who hurts you.’ Augustus Waters (page 313)

                The Fault in Our Stars berkisah tentang Hazel Grace Lancaster, gadis berusia 16 tahun dan mengidap kanker tiroid yang mengharuskan dia membawa tabung oksigen untuk membantu pernapasannya.  Hazel mengikuti kelompok pendukung pasien kanker karena disuruh oleh ibunya di Literal Heart of Jesus. Di sana dia bertemu dengan Augustus Waters, seorang kanker survivor yang tengah mendukung temannya Isaac. Augutus berusia 17 tahun seorang mantan pemain basket yang diamputasi karena osteosarkoma.

             Setelah itu timbul ketertarikan antara Hazel dan Augustus, jadi Augustus mengajak Hazel untuk ke rumahnya dan menonton film V for Vendetta. Hazel bercerita tentang penyakitnya selama di mobil. Setelah tiba di rumah Augustus, Hazel melihat banyak encouragements. Hazel mulai bercerita tentang keluarganya dan kegemarannya membaca, kemudian Augustus memberikan buku ke Hazel. Mereka saling bertukar buku Augustus meminjamkan The Price of Dawn, dan Hazel merekomendasikan An Imperial Affliction.

             Setelah beberapa minggu Augustus berhasil berkorespondensi dengan asisten Peter van Houten, penulis An Imperial Affliction yang sangat dikagumi Hazel dan dia memiliki banyak pertanyaan tentang kisah selanjutnya dari tokoh-tokoh dalam novel itu. Augustus mulai mengirimi email dan akhirnya Peter mengundang hazel dan Augustus ke Amsterdam untuk menjawab pertanyaannya secara pribadi dan langsung. Mereka ke Amsterdam dengan bantuan Genie Foundation, sebelum mereka berangkat keadaan Hazel sempat memburuk dan akhirnya dokternya Hazel menyatakan bahwa dia boleh ke Amsterdam. Selain itu juga Isaac, kehilangan matanya dan juga pacarnya.

             Sesampainya di Amsterdam, kenyataan pahitlah yang mereka dapatkan Peter bukanlah seorang yang seperti mereka bayangkan, dan bahkan Peter tidak menjawab pertanyaan Hazel, hal itu sangat menyakitkan bagi Hazel. Mereka pun akhirnya ditemani oleh Lidewij—asisten Peter jalan-jalan ke museum Anne Frank. Di sana mereka berciuman dan menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka memiliki cinta yang kuat.

             Augustus mendapati bahwa kankernya kembali dan menmutuskan untuk menulis sesuatu untuk Hazel dan mereka berdua juga saling menuliskan eulogi untuk dibacakan saat mereka meninggal.

             The Fault in Our Stars memiliki ending yang tidak ketebak dan pastinya membuat penasaran saat membacanya hingga rasanya ingin cepat-cepat ke halaman terakhir.

             Novel ini menunjukkan bahwa cinta itu kuat dan akan tetap ada saat pasangan sehat dan saat terburuk dalam pasangannya. Saling mendukung dan menyemangati juga ditunjukkan dalam novel ini. Dari novel ini kita bisa belajar perjuangan para pengidap kanker dan bagaimana kita bisa bersikap kepada kehidupan dan lebih menghargai kehidupan itu sendiri.

             Disajikan dengan sudut pandang orang pertama di mana, Hazel sebagai penceritanya. Alurnya  terkesan lambat bagi saya, setelah konflik saat betemu dengan Peter van Houten, ceritanya mulai seru. Bahasanya lumayan sulit karena kosakatanya yang tambah rumit, tapi overall saya sudah bisa memahami keseluruhan novel ini. Novel ini mengambil setting di Indianapolis, Indiana.

             Novel ini mengandung adegan bercinta yang mungkin tidak cocok untuk budaya dan pembaca Indonesia apalagi karena kategori novel ini children and teenagers. Selebihnya novel ini bagus, ada nilai-nilai persahabatan di dalamnya.

“Without Pain, How Could we Know Joy?” This is an old argument in the field of Thinking About suffering, and its stupidity and alck of sophistication could be plumbed for centuries, but suffice it to say that the existence of broccoli does not in any way affect the taste of chocolate.”
Hazel Graze Lancaster (page 35).

             Simpulannya novel ini sangat menarik dan banyak hal positif bisa kita dapatkan dari membaca novel ini.

Judul                      : The Fault in Our Stars
Penulis                   : John Green
Penerbit                  : Dutton Books
Jumlah halaman     : 313 halaman
Cetakan                  : 10 Januari 2012
ISBN                      :  978-0-525-47881-2



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.