>

Kamis, 28 Agustus 2014

The Death Box

Penuturan Ellectra Woods….
Aku tidak tahu banyak tentang kehidupan, namun tahu banyak tentang kematian[1]. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagiku, bukan sesuatu yang harus aku khawatirkan. Kenapa? Karena aku selalu dekat dengan kematian itu. Mungkin untuk orang-orang yang tak memiliki kemampuan sepertiku hal ini sangatlah aneh. Seaneh tatapan orang-orang yang memandangku sebelah mata. Aku nyaris kehilangan semua teman-temanku karena hal ini. Mereka menjauhiku, takut sesuatu akan terjadi jika terlalu dekat denganku. Tapi tidak dengan Matt, lelaki ini mencoba untuk tetap menjadi temanku, meski kutahu ada keraguan dalam dirinya.
Aku tak tahu dari siapa aku mewarisi kemampuan ini, keluargaku tak ada yang memiliki kemampuan ‘aneh’ ini. Melihat kematian. Ya, aku bisa melihat kematian yang hendak menjemput orang-orang yang aku temui. Sering kali saat aku mencoba memperingatkan mereka tak ada yang percaya. Cacian dan kutukanlah yang aku terima setelah maut menjemput orang yang telah aku beri tahu. Kematian itu bisa ditunda apabila mereka mau mendengarkan, tapi tak ada yang percaya. Aku selalu datang pada misa untuk para arwah, banyak yang melarang tapi aku bersikukuh untuk datang. Aku merasa bertanggung jawab atas kejadian ini.
Tuhan, kenapa kau berikan kemampuan ini? Aku tak mengerti. Adakah tujuan tertentu dari semua ini? batinku saat duduk di deretan bangku paling belakang di Katedral ini.
Air mata ini tak berhenti menetes mengingat Belle, teman sekolahku yang kini terbujur kaku di peti coklat itu. Seperti yang telah kujelaskan tadi, aku juga memperingatkan Belle saat penglihatan itu datang. Naas, semuanya terlambat. Tubuhnya terlindas truk yang melintas di jalanan depan sekolahku, ketika ia tengah sibuk dengan gadgetnya.
Aku berteriak seperti orang kesetanan memperingatkannya. Orang-orang mulai memperhatikanku saat itu, curiga dengan perkataanku karena saat itu lalu lintas cukup lenggang. Darah segar yang menggenang di atas aspal itu membentuk sebuah sosok. Sosok yang mengerikan dengan tanduk di kepala dan mata yang kosong tanpa manik.
“Matt, kau melihat ada yang aneh pada genangan darah itu?” tanyaku pada Matt yang sedari tadi berjalan bersamaku.
Hari ini sepulang sekolah aku dan Matt berencana untuk ke perpustakaan kota untuk mencari tahu tentang apa yang aku miliki.
“Tak ada. Kau melihat sesuatu? Kau bisa mengatakannya padaku.”
Aku tahu Matt tidak main-main dengan kata-katanya. Dialah satu-satunya teman yang menerimaku apa adanya terlepas dari keanehanku. Terlalu sering aku bercerita tentang apa yang aku lihat. Sejauh ini dia cukup kooperatif dan berusaha mendengarkanku dengan tulus.
“Tidak untuk saat ini Matt.”
“Kita harus memberitahu keluarga Belle. Kau harus kuat,” kata Matt lembut.
***
“Elle…. Ellectra!!!”
Aku menoleh untuk mencari sumber suara itu. Tapi tak kutemui. Suasana kamar yang gelap dan dinginnya musim gugur membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak bermimpi karena aku yakin aku belum tidur.
Sebelumnya aku tak pernah merasa seperti ini, merasa ketakutan. Apa karena ini kematian orang yang aku kenal dengan baik meski dia juga ikut-ikutan menjauhiku? Tidak, aku tahu Belle tidak sejahat itu, aku dan Belle adalah sahabat. Dulu. Sebelum aku mendapatkan penglihatan aneh ini.
“Kenapa aku tidak bisa melihat kematianku sendiri?” gumamku.
***
“Elle, aku tahu kau sangat terganggu dengan penglihatanmu dan kau ingin menghilangkannya kan?”
“Siapa kau? Aku tak mengenalmu.”
“Elle kau tak perlu tahu siapa aku, kau hanya perlu menjawab saja apakah kau ingin melihat kematianmu sendiri?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Kulihat wanita berambut pirang dengan kulit putih pucatnya. Gaun putih yang dikenakannya membuatnya seakan melayang. Kulihat sekeliling penuh dengan nisan yang telah lama berdiri. Aku berada di pemakaman Garden of the Soul, pemakaman yang berada di kotaku. Aku tahu setiap detil dari tempat ini, karena sebelum aku mendapatkan penglihatan itu aku sering ke sini untuk memahami monument kematian ini.
“Elle…. Kenapa hanya diam saja?”
Aku mengangguk.
“Aku tahu kau pasti akan melakukan ini.”
“Maksutmu?”
“Kau pelintas batas. Ini kutukan untukmu.”
Sosok wanita itu pun menghilang ditelan kabut yang tiba-tiba saja datang diikuti oleh lolongan serigala. Bulu kudukku meremang, kulangkahkan kakiku sejauh mungkin meninggalkan pemakaman ini, tapi kakiku terantuk sebuah batu dan aku pun terjatuh. Kurasakan nyeri di kepalaku. Seketika saja gelap, aku tak bisa melihat apa pun. Kuraba kepalaku dan mendapati sebuah luka dengan darah yang menetes. 
“Elle…. Elllectra…. Kau harus bangun ini bukan akhir dari kehidupanmu Elle.”
Suara itu terdengar sangat familiar,  “Belle… Kau kah itu?”
Kucoba untuk membuka mataku. Kelopak mataku terasa berat dari biasanya. Cahaya dari sekitarku langsung menyerang kedua lensa mataku.
“Tunggu…. Aku tadi di pemakaman. Tapi kenapa aku berada di kamarku? Kurasakan nyeri di kepala. Terluka. Ini mimpi atau kenyataan?”
***
“Elle kau baik-baik saja? Kau tampak sangat pucat. Kau sakit?” tanya Matt.
“Tidak Matt. Semalam aku mimpi buruk.” Selanjutnya aku pun menceritakan mimpiku pada Matt.
“Apa? Pelintas batas? Pemakaman Garden of the Soul???” ucap Matt terkejut.
“Kau tahu sesuatu Matt?”
“Aku tak yakin, tapi aku pernah membaca buku tentang pemakaman itu. Kau tahu pemakaman itu jarang dikunjungi orang, dan aku malah menjelajahi tempat berhantu itu.”
“Matt itu hanya mitos,” belaku.
“Bukan, Elle. Itu nyata adanya. Kau harus membaca ini.”
Aku membaca setiap rangkaian kata-kata yang tercetak di atas kertas yang telah menguning. Usia buku ini mungkin sudah lama sekali. Aku paham sekali sekarang. Pemakaman itu bukanlah hanya sebuah pemakaman kuno. Tapi juga gerbang menuju dunia kematian. Setiap pelintas batas yang beruntung akan mendapatkan penglihatan itu. Namun, ia juga harus mendapatkan The Death Box untuk menghentikan semua penglihatan ini.
Aku tercekat saat membaca penjelasan bahwa Death Box itu mungkin saja tersimpan di dalam kuburan salah satu korban.
Matt, memapahku saat aku nyaris saja terjatuh. Dia sudah paham dengan isi buku itu. Kepalaku masih penuh dengan kedua sosok aneh yang kutemui di dunia nyata dan dunia mimpi.
“Kita pulang, Elle. Kau butuh istirahat.”
***
“Elle, kau siap malam ini?”
“Untuk apa?”
“Menghilangkan kutukan itu!” seru Matt dari ujung telpon.
“Tentu, tapi aku tak yakin. Harus dari mana kita memulai?”
“Temui aku di Garden of the Soul jam 8 malam.”
“Baik, adakah sesuatu yang harus aku persiapkan?”
“Siapkan saja mentalmu!” Sambungan telpon itu pun terputus.
Garden of the Soul tampak muram malam ini, kabut tipis menghiasi hampir tiap jengkal dari area ini. Matt sudah menunggu di depan pintu masuk, sesekali ia merapatkan jaket musim dinginnya. Udara malam di sini terasa lebih dingin dari area lainnya. Matt terlihat cemas, berulang-ulang dia melihat ponselnya jam menunjukkan sudah jam 8 lewat tapi Elle belum juga nampak.
“Mattt!!!” Sebuah suara memanggil namanya.
“Elle? Kau di mana?”
“Di sini!”
Suara itu terdengar dari dalam kompleks pemakaman. Matt bergegas masuk ke dalam, kepalanya penuh tanya tentang kapan Elle ada di dalam dan bagaimana dia tak melihatnya. Udara dingin bertukar dengan hawa panas yang membakar kulit Matt, sebuah keanehan yang tak pernah Matt temui. Matt pun melepas jaketnya dan menghiraukan hawa ini yang lama kelamaan mampu ia atasi.
“Mattt…. Tolong aku!!!”
“Elle, kau kenapa?”
Matt tercengang ketika melihat Elle terjebak di atas sebuah lubang dekat dengan makam Belle.
“Tarik aku! Aku nggak mau masuk ke dalam tanah. Mereka menarikku, menginginkanku!”
“Elle, apa kau menemukan sesuatu?”
“Kotak itu ada di sini tadi, tapi saat aku mengambilnya aku terperosok dan mereka menarikku. Cepat tarik aku!”
Matt mencoba menarik Elle dengan sepenuh tenaga, tapi usahanya belum menghasilkan apapun. Keringat mulai berkucuran hawa panas mulai terasa lebih membakar daripada yang tadi. Tangan Elle terasa begitu dingin. Elle tampak begitu pucat seperti seluruh darahnya tersedot ke dalam.
Air mata meleleh di pipi Elle. Wajahnya tampak kosong tak ada sorot dalam kedua matanya. Kini hampir setengah tubuhnya tertelan tanah. Tenaga Matt pun terkuras habis.
“Lepaskan aku, Matt. Kumohon,” pinta Elle lemah.
“Tidak Elle!!! Aku tak akan melepaskannya.”
“Ini pilihanku, mereka menginginkanku. Bukan dirimu.”
“Mereka, siapa?”
“Para iblis!”
Pegangan Elle mulai melemah, tapi tangan Matt masih mengenggamnya. Sedikit demi sedikit, Matt pun mulai memucat semua kekuatannya habis. Genggaman itu tak terlepas seakan ada lem ajaib yang melekatkannya. Tubuh Elle mulai tersedot masuk ke dalam. Kini dia tengah kehilangan kesadarannya. Pun demikian dengan Matt. Kedua insan itu tersedot menuju dunia lain, dunia yang penuh tanda tanya.



[1] Kalimat pertama novel Angel karya Ashara.

2 komentar:

  1. Kereen.,,hrus dilanjut ni ceritanya. Saya tunggu ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah baca. Nanti dilanjut kalau udah dapet idenya.

      Hapus

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.