Penuturan Ellectra
Woods….
Aku tidak tahu banyak
tentang kehidupan, namun tahu banyak tentang kematian[1].
Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagiku, bukan sesuatu yang harus aku
khawatirkan. Kenapa? Karena aku selalu dekat dengan kematian itu. Mungkin untuk
orang-orang yang tak memiliki kemampuan sepertiku hal ini sangatlah aneh.
Seaneh tatapan orang-orang yang memandangku sebelah mata. Aku nyaris kehilangan
semua teman-temanku karena hal ini. Mereka menjauhiku, takut sesuatu akan
terjadi jika terlalu dekat denganku. Tapi tidak dengan Matt, lelaki ini mencoba
untuk tetap menjadi temanku, meski kutahu ada keraguan dalam dirinya.
Aku tak tahu dari siapa
aku mewarisi kemampuan ini, keluargaku tak ada yang memiliki kemampuan ‘aneh’
ini. Melihat kematian. Ya, aku bisa melihat kematian yang hendak menjemput
orang-orang yang aku temui. Sering kali saat aku mencoba memperingatkan mereka
tak ada yang percaya. Cacian dan kutukanlah yang aku terima setelah maut
menjemput orang yang telah aku beri tahu. Kematian itu bisa ditunda apabila
mereka mau mendengarkan, tapi tak ada yang percaya. Aku selalu datang pada misa
untuk para arwah, banyak yang melarang tapi aku bersikukuh untuk datang. Aku
merasa bertanggung jawab atas kejadian ini.
Tuhan, kenapa kau berikan kemampuan ini? Aku tak mengerti. Adakah tujuan
tertentu dari semua ini? batinku saat duduk di deretan bangku paling belakang di Katedral ini.
Air mata ini tak
berhenti menetes mengingat Belle, teman sekolahku yang kini terbujur kaku di
peti coklat itu. Seperti yang telah kujelaskan tadi, aku juga memperingatkan
Belle saat penglihatan itu datang. Naas, semuanya terlambat. Tubuhnya terlindas
truk yang melintas di jalanan depan sekolahku, ketika ia tengah sibuk dengan
gadgetnya.
Aku berteriak seperti
orang kesetanan memperingatkannya. Orang-orang mulai memperhatikanku saat itu,
curiga dengan perkataanku karena saat itu lalu lintas cukup lenggang. Darah
segar yang menggenang di atas aspal itu membentuk sebuah sosok. Sosok yang
mengerikan dengan tanduk di kepala dan mata yang kosong tanpa manik.
“Matt, kau melihat ada
yang aneh pada genangan darah itu?” tanyaku pada Matt yang sedari tadi berjalan
bersamaku.
Hari ini sepulang
sekolah aku dan Matt berencana untuk ke perpustakaan kota untuk mencari tahu
tentang apa yang aku miliki.
“Tak ada. Kau melihat
sesuatu? Kau bisa mengatakannya padaku.”
Aku tahu Matt tidak
main-main dengan kata-katanya. Dialah satu-satunya teman yang menerimaku apa
adanya terlepas dari keanehanku. Terlalu sering aku bercerita tentang apa yang
aku lihat. Sejauh ini dia cukup kooperatif dan berusaha mendengarkanku dengan
tulus.
“Tidak untuk saat ini
Matt.”
“Kita harus memberitahu
keluarga Belle. Kau harus kuat,” kata Matt lembut.
***
“Elle…. Ellectra!!!”
Aku menoleh untuk
mencari sumber suara itu. Tapi tak kutemui. Suasana kamar yang gelap dan
dinginnya musim gugur membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak bermimpi karena
aku yakin aku belum tidur.
Sebelumnya aku tak
pernah merasa seperti ini, merasa ketakutan. Apa karena ini kematian orang yang
aku kenal dengan baik meski dia juga ikut-ikutan menjauhiku? Tidak, aku tahu
Belle tidak sejahat itu, aku dan Belle adalah sahabat. Dulu. Sebelum aku
mendapatkan penglihatan aneh ini.
“Kenapa aku tidak bisa
melihat kematianku sendiri?” gumamku.
***
“Elle, aku tahu kau
sangat terganggu dengan penglihatanmu dan kau ingin menghilangkannya kan?”
“Siapa kau? Aku tak
mengenalmu.”
“Elle kau tak perlu tahu
siapa aku, kau hanya perlu menjawab saja apakah kau ingin melihat kematianmu
sendiri?”
Aku tak tahu harus menjawab
apa. Kulihat wanita berambut pirang dengan kulit putih pucatnya. Gaun putih
yang dikenakannya membuatnya seakan melayang. Kulihat sekeliling penuh dengan
nisan yang telah lama berdiri. Aku berada di pemakaman Garden of the Soul,
pemakaman yang berada di kotaku. Aku tahu setiap detil dari tempat ini, karena
sebelum aku mendapatkan penglihatan itu aku sering ke sini untuk memahami
monument kematian ini.
“Elle…. Kenapa hanya
diam saja?”
Aku mengangguk.
“Aku tahu kau pasti akan
melakukan ini.”
“Maksutmu?”
“Kau pelintas batas. Ini
kutukan untukmu.”
Sosok wanita itu pun
menghilang ditelan kabut yang tiba-tiba saja datang diikuti oleh lolongan
serigala. Bulu kudukku meremang, kulangkahkan kakiku sejauh mungkin
meninggalkan pemakaman ini, tapi kakiku terantuk sebuah batu dan aku pun
terjatuh. Kurasakan nyeri di kepalaku. Seketika saja gelap, aku tak bisa
melihat apa pun. Kuraba kepalaku dan mendapati sebuah luka dengan darah yang
menetes.
“Elle…. Elllectra…. Kau
harus bangun ini bukan akhir dari kehidupanmu Elle.”
Suara itu terdengar
sangat familiar, “Belle… Kau kah itu?”
Kucoba untuk membuka
mataku. Kelopak mataku terasa berat dari biasanya. Cahaya dari sekitarku
langsung menyerang kedua lensa mataku.
“Tunggu…. Aku tadi di
pemakaman. Tapi kenapa aku berada di kamarku? Kurasakan nyeri di kepala.
Terluka. Ini mimpi atau kenyataan?”
***
“Elle kau baik-baik
saja? Kau tampak sangat pucat. Kau sakit?” tanya Matt.
“Tidak Matt. Semalam aku
mimpi buruk.” Selanjutnya aku pun menceritakan mimpiku pada Matt.
“Apa? Pelintas batas?
Pemakaman Garden of the Soul???” ucap Matt terkejut.
“Kau tahu sesuatu Matt?”
“Aku tak yakin, tapi aku
pernah membaca buku tentang pemakaman itu. Kau tahu pemakaman itu jarang
dikunjungi orang, dan aku malah menjelajahi tempat berhantu itu.”
“Matt itu hanya mitos,”
belaku.
“Bukan, Elle. Itu nyata
adanya. Kau harus membaca ini.”
Aku membaca setiap
rangkaian kata-kata yang tercetak di atas kertas yang telah menguning. Usia
buku ini mungkin sudah lama sekali. Aku paham sekali sekarang. Pemakaman itu
bukanlah hanya sebuah pemakaman kuno. Tapi juga gerbang menuju dunia kematian.
Setiap pelintas batas yang beruntung akan mendapatkan penglihatan itu. Namun,
ia juga harus mendapatkan The Death Box untuk menghentikan semua penglihatan
ini.
Aku tercekat saat
membaca penjelasan bahwa Death Box itu mungkin saja tersimpan di dalam kuburan
salah satu korban.
Matt, memapahku saat aku
nyaris saja terjatuh. Dia sudah paham dengan isi buku itu. Kepalaku masih penuh
dengan kedua sosok aneh yang kutemui di dunia nyata dan dunia mimpi.
“Kita pulang, Elle. Kau
butuh istirahat.”
***
“Elle, kau siap malam
ini?”
“Untuk apa?”
“Menghilangkan kutukan
itu!” seru Matt dari ujung telpon.
“Tentu, tapi aku tak
yakin. Harus dari mana kita memulai?”
“Temui aku di Garden of
the Soul jam 8 malam.”
“Baik, adakah sesuatu
yang harus aku persiapkan?”
“Siapkan saja mentalmu!”
Sambungan telpon itu pun terputus.
Garden of the Soul
tampak muram malam ini, kabut tipis menghiasi hampir tiap jengkal dari area
ini. Matt sudah menunggu di depan pintu masuk, sesekali ia merapatkan jaket
musim dinginnya. Udara malam di sini terasa lebih dingin dari area lainnya.
Matt terlihat cemas, berulang-ulang dia melihat ponselnya jam menunjukkan sudah
jam 8 lewat tapi Elle belum juga nampak.
“Mattt!!!” Sebuah suara
memanggil namanya.
“Elle? Kau di mana?”
“Di sini!”
Suara itu terdengar dari
dalam kompleks pemakaman. Matt bergegas masuk ke dalam, kepalanya penuh tanya
tentang kapan Elle ada di dalam dan bagaimana dia tak melihatnya. Udara dingin
bertukar dengan hawa panas yang membakar kulit Matt, sebuah keanehan yang tak
pernah Matt temui. Matt pun melepas jaketnya dan menghiraukan hawa ini yang
lama kelamaan mampu ia atasi.
“Mattt…. Tolong aku!!!”
“Elle, kau kenapa?”
Matt tercengang ketika
melihat Elle terjebak di atas sebuah lubang dekat dengan makam Belle.
“Tarik aku! Aku nggak
mau masuk ke dalam tanah. Mereka menarikku, menginginkanku!”
“Elle, apa kau menemukan
sesuatu?”
“Kotak itu ada di sini
tadi, tapi saat aku mengambilnya aku terperosok dan mereka menarikku. Cepat
tarik aku!”
Matt mencoba menarik
Elle dengan sepenuh tenaga, tapi usahanya belum menghasilkan apapun. Keringat
mulai berkucuran hawa panas mulai terasa lebih membakar daripada yang tadi.
Tangan Elle terasa begitu dingin. Elle tampak begitu pucat seperti seluruh
darahnya tersedot ke dalam.
Air mata meleleh di pipi
Elle. Wajahnya tampak kosong tak ada sorot dalam kedua matanya. Kini hampir
setengah tubuhnya tertelan tanah. Tenaga Matt pun terkuras habis.
“Lepaskan aku, Matt.
Kumohon,” pinta Elle lemah.
“Tidak Elle!!! Aku tak
akan melepaskannya.”
“Ini pilihanku, mereka
menginginkanku. Bukan dirimu.”
“Mereka, siapa?”
“Para iblis!”
Pegangan Elle mulai
melemah, tapi tangan Matt masih mengenggamnya. Sedikit demi sedikit, Matt pun
mulai memucat semua kekuatannya habis. Genggaman itu tak terlepas seakan ada
lem ajaib yang melekatkannya. Tubuh Elle mulai tersedot masuk ke dalam. Kini
dia tengah kehilangan kesadarannya. Pun demikian dengan Matt. Kedua insan itu
tersedot menuju dunia lain, dunia yang penuh tanda tanya.
Kereen.,,hrus dilanjut ni ceritanya. Saya tunggu ^^
BalasHapusTerima kasih sudah baca. Nanti dilanjut kalau udah dapet idenya.
Hapus