“Onii chan[1],
aku nggak mau kehilangan kamu,” rengek seorang gadis
kecil sambil menggoyangkan tubuh lawan bicaranya.
“Hikari-chan[2],
kita nggak akan berpisah, kalau kamu merindukanku, lihatlah langit anggaplah
awan itu sebagai aku, saat kau lihat awan putih yang sedang asyik berlarian,
aku lagi senang, dan saat kau lihat awan mendung kau tahukan artinya?” kata Kazuki sambil mengenggam tangan Hikari.
“Onii chan, ini buat kamu,” kata Hikari sambil
memberikan seikat bunga-bunga liar pada Kazuki.
“Trims.”
“Kamu lagi nyari apa?”
“Semanggi.”
“Lihat Onii chan,
bukankah di sini ada banyak.”
“Bukan, aku nyari yang gak kayak gitu, coba kamu lihat daunnya.”
“Ada tiga daun.”
“Cari yang berdaun empat, kalau
kamu nemuin semanggi berdaun empat kamu bisa membuat permintaan kepada keempat daunnya, semanggi seperti itu sangat langka.”
Kedua anak kecil itu tenggelam dalam pencarian mereka. Hingga
sore, mereka tak menemukannya. Hikari kelelahan, akhirnya Kazuki memutuskan
untuk menggendongnya saat pulang.
***
Delapan tahun kemudian,
bulan Maret aku bergembira menyambut datangnya musim semi. Setiap orang
menantikan munculnya kuncup-kuncup bunga pohon sakura.
Kususuri areal satoyama[3]
itu lagi untuk pertama kalinya semenjak kepergianku. Perjalanan yang cukup melelahkan dari pusat kota Tokyo
yang memakan waktu sekitar setengah hari. Sasayama masih sama, areanya masih
dihiasi persawahan, dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung. Masih jarang toko
dan restoran besar di kota ini.
“Hei, lagi ngapain
kamu?” Kudengar sebuah suara
memanggilku, aku masih sibuk mencari semanggi, tak kutolehkan kepalaku ke
sumber suara. Suara itu terdengar semakin mendekat.
“Kamu
denger atau nggak?” seloroh suara itu.
“Iya,” jawabku kesal.
Kulihat bayangan itu mendekatiku, aku masih tidak
menghiraukannya. Sosok lelaki itu kini telah berada di sampingku,
dia menatapku penuh keheranan.
“Ketemu!!!” Aku
setengah berteriak saat aku hendak memetik semanggi berdaun empat itu. Belum
sempat aku mendaratkan tanganku ke semanggi itu kusentuh tangannya yang telah
mendahuli berada di atas daun itu. Kurasakan getaran aneh yang muncul saat aku
menyentuh tangannya. Tanganku bergetar.
“Aku duluan yang nemuin!” Kudorong sosok lelaki itu
dari sampingku.
“Tapi aku dulu yang menyentuhnya,”
jawab lelaki itu pelan.
Kuarahkan tanganku hendak memetik semanggi itu, namun
tanganku ditampiknya dengan keras. Dia mulai berceramah. Aku
tak mendengarkan apa yang dia katakan, yang ada dalam pikiranku adalah
bagaimana caranya menghentikan ocehannya dan
segera mungkin untuk membuat permintaan kepada setiap helai daun semanggi itu.
“Awas, ada ular di sampingmu,”
ucapku berbohong padanya.
“Haahhh,” jawabnya terkejut dan
meninggalkan semanggi itu.
Kudekati daun semanggi itu, kupegang tangkainya. Aku mulai berdoa
dalam hati, “Aku
hanya menginginkan bisa bertemu lagi dengan Kazuki.”
“Heyy, apa yang kamu lakuin? Bukankah
kau bilang ada ular di sana?”
“Bukan
urusanmu!!!” tukasku.
***
Awal April ketika bunga-bunga sakura mulai bermekaran, aku
mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan, keluarga Nakano telah pulang, aku segera menuju Sasayama. Kulihat potret Kazuki-kun[4]
yang digantung di dinding rumah, dia telah tumbuh menjadi remaja yang tampan
dan memiliki hidung yang mancung. Ibunya menyerahkan sebuah
surat dan meminjamkan
sebuah guci kecil. Tempat
abu jenazah Kazuki. Aku
menangis sejadi-jadinya.
Dear
Hikari-chan,
Bawalah abu jenazahku ke satoyama, di sana kita pernah membuat janji dan aku ingin menepatinya. Lanjutkan hidupmu, temukan cintamu. Sankyu[5].
Nakano
Kazuki
Kutatap langit
biru itu, kuyakinkan diriku bahwa dia pun telah bahagia di sana, kubawa guci
abu jenazahnya menuju satoyama, akhirnya
setelah sekian lama terpisah aku pun bisa
bersatu lagi dengannya meski kini tak kutemui sosoknya lagi. Kubaringkan
tubuhku dan kuletakkan guci itu tepat di sampingku, aku merasa bahwa
kini aku sedang bersamanya, kurasakan sosoknya muncul dalam alam pikiranku.
Kudengar suara langkah kaki yang mendekat, lambat namun
pasti langkah itu menuju ketempatku berdiam. Aku masih tak memperdulikannya
yang ada dalam pikiranku adalah aku hanya ingin bersama Oniichan-ku
untuk saat ini, menghabiskan waktu terakhir bersamanya sebelum aku kembali ke
Tokyo dan bersiap menghadapi masa-masa SMA.
“Heyy?” sapanya
ramah.
Kutolehkan wajahku kearahnya,
dengan segera tanganku menyeka bekas air mataku, kutatap sosok itu dengan
saksama, entah antara ilusi atau kenyataan tapi aku seakan melihat sosok Onii chan-ku
sedang berdiri di sampingku.
Lelaki itu begitu mirip dengannya, kulihat sebuah kamera yang dikalungkan di lehernya.
“Kamu ngapain di sini?” ujarku sambil bangkit. Kurasakan
gejolak aneh yang tiba-tiba saja muncul sama seperti saat aku menyentuh tangan
si kaca mata.
“Wah, ternyata cewek semanggi,” katanya sambil menatapku
dalam-dalam.
“Cewek semanggi, siapa?” tanyaku celingukan.
“Kamu.”
“Si kaca mata?”
“Aku punya nama. Enoki Ichiro.”
“Otsu Hikari.”
Sepersekian detik kemudian kurasakan
keheningan, tak ada kata yang terucap dari mulut kami berdua. Enoki sibuk
mengabadikan matahari tenggelam dari areal persawahan. Perasaanku
tak keruan, bingung antara dia dan Kazuki.
***
Setelah jam sekolah berakhir, aku ingin melihat latihan kendo[6]
di ruang olah raga. Kudapati dua orang yang tengah berlatih, kutemukan sosok
Ichiro saat dia melepas men[7]
nya. Aku bertanya dalam hati, apakah ini kebetulan juga? Terlalu banyak
kebetulan yang kutemui hingga aku tak bisa menerimanya. Aku segera berlari,
tapi Ichiro memanggilku, “Hikari, kamu sekolah di sini juga?”
Aku hanya mengangguk.
***
“Hikari, kau ditunggu seseorang
di atap sekolah,” kata Rika teman yang duduk di sebelahku.
“Siapa?”
“Lebih baik kau segera ke sana saja, kau akan mengetahuinya nanti.”
“Trims.”
***
“Kau datang juga.”
“Kamu menyuruhku ke sini?”
“Aku ingin mengajakmu ke festival Tanabata, kamu mau?”
Aku mengangguk, lagi pula aku tak punya rencana di musim panas ini.
***
Langit malam begitu cerah, ribuan bintang berkelip menghiasi malam nan
damai. Aku mengenakan sebuah yukata[8]
berwarna pink.
“Sudah lama menunggu?” kata Ichiro menyadarkanku dari lamunan.
Aku menggeleng.
“ Ayo kita jalan-jalan sambil menunggu kembang api.”
Aku berjalan di sampingnya bagiku itu adalah momen yang sangat
membahagiakan. Aku menghentikan langkahku saat kulihat orang-orang yang sedang
sibuk menulis permohonan di tanzaku[9].
Kuambil yang berwarna merah kutuliskan
harapanku, kuberikan satu yang berwarna hijau ke Ichiro, dia pun melakukan hal
yang sama.
Kembang api mewarnai langit malam ini, kunikmati setiap percikannya
bersamanya.
“Ichiro-kun, aku
mencintaimu.” Kuucapkan dengan jelas dan penuh keberanian.
“Gomenne[10],
seandainya aku menemui terlebih dulu,” jawabnya
pelan. Dia memeluk tubuhku, kurasakan sensasi yang bercampur, kupaksakan untuk
menahan air mata.
[1] kakak
laki-laki.
[2] sebutan kehormatan untuk teman dekat, wanita muda, kekasih, teman.
[3] area tanah di antara gunung dan daerah pertanian,
secar tipikal area ini terdapat persawahan dan hutan.
[4] akhiran sebutan kehormatan untuk
anak laki-laki, teman laki-laki, remaja laki-laki.
[5] terima kasih
[6] seni bela diri Jepang yang
menggunakan pedang
[7] pelindung kepala dalam olah raga
kendo
[8] kimono dari bahan yang tipis yang
biasa dipakai di musim panas
[9] kertas kecil warna warni yang
digantungkan di pohon harapan yang terbuat dari bambu.
[10] maaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.