Dia mendorong, memojokkanku di sudut kamar yang sempit ini. Aku mencoba untuk melawan, tapi lengannya yang berotot begitu keras menahan tubuh kurusku. Mata hitamnya menatapku tajam penuh kecemburuan dan rasa ingin tahu. Seakan ingin menelanku bulat-bulat. Nafasnya memburu sebuah jawaban. Aku heran tak seperti biasanya dia seperti ini, memperlakukanku begitu kasar. Menohok dengan kemarahan yang jelas terlukis di wajahnya.
Aku berontak, mengerahkan semua
tenagaku untuk menyingkirkan tubuhnya yang kini semakin menindihku. Tangannya
mengepal, bersiap untuk memberikan tinjunya. Kulakukan hal yang sama, sebatas
persiapan jika dia memulai. Hampir setengah jam aku berada dalam posisi seperti
ini, meringkuk seperti pesakitan. Air mukanya tak juga berubah, wajah yang
biasanya ceria dengan senyuman itu kini merah padam dengan amarah.
Kuberanikan untuk membuka suara,
“Apa maumu?”
“Siapa dia?” tanyanya dengan nada
keras yang jarang aku dengar keluar dari mulutnya selama kami bersama.
“Teman…,” kataku datar.
Dia mulai mengendurkan
pertahanannya, segera kudorong tubuhnya untuk meloloskan diri. Aku bersiap
untuk berlari, namun kalah cepat dengannya yang kini telah berdiri di depan
pintu kosku.
“Kau tak akan pergi ke mana-mana
malam ini!” bentaknya dengan suara keras yang membuat tubuhku bergetar.
Dengan cekatan dia mengunci pintu itu,
mengambil kunci dan juga menggeledahku
hingga mendapatan kunci yang kubawa. Tak biasanya dia datang tiba-tiba tanpa
memberitahukanku. Aku sudah begitu mempercayainya hingga kuberikan satu kunci
untuknya. Tak ada pilihan lain selain mematuhinya, aku takut dia akan berbuat
lebih dari yang tadi. Aku pun tak mau bila aku harus babak belur karena dia.
Aku segera menuju pojokan kamar dan berusaha untuk tidak melihatnya. Mataku
sudah begitu berat. Lelah yang menyergap membuatku terlelap dan tak
mengacuhkannya.
“Sayang…, bangun, Yang!” Suaranya
yang berat mulai mengusikku diikuti dengan guncangan dari tangannya.
Aku mulai membuka mata, kusingkirkan
selimut yang menutupi tubuhku. Aku tahu
selalu saja ada kelembutan dalam dirimu. Terima kasih sudah menyelimutiku
semalam, batinku. Kutatap wajahnya yang secerah matahari pagi, sisa-sisa
kemarahan masih ada di matanya.
***
Sinar matahari yang menyelinap masuk
di antara deretan pohon karet ini begitu memukauku. Di bagian lain tampak gelap
oleh bayangannya dan di sisi lain terlihat sinar matahari itu. Sejuk mulai
menyentuh tubuhku. Tanah yang kupijak berwarna kemerahan, rumput-rumput yang
menghijau menambah suasana damai tempat ini.
Setelah selesai dengan kegiatan pagi
ini, dia langsung mengajakku ke suatu tempat yang dia rahasiakan. Tentu saja
aku curiga, pikiranku dipenuhi dengan hal-hal buruk. Memukuliku di tempat sepi
mungkin?
Ya, tempat ini memang sepi, jalan
raya yang membelah kebun karet ini tak
begitu lebar. Jalan raya yang
menghubungkan Kedungjati dan Salatiga ini tidak banyak dilewati kendaraan.
Suara serangga mengisi ruang dengarku. Kulihat batu besar yang berada di tepi
kebun karet. Kontur tanah yang berbeda membuatku semakin kagum dengan tempat ini. Aku layaknya anak kecil yang
menemukan mainan baru. Aku melompat dari tanah yang lebih tinggi menuju tanah
yang rendah. Kulihat dia tengah asik
memainkan kameranya setelah memarkirkan motornya di tempat yang aman. Deretan
pohon karet ini memberikan perlindungan dari sinar matahari yang tidak begitu
panas karena udara pegunungan yang dingin bersatu di sini.
Aku berpindah-pindah menuju setiap
deretan pohon karet dan menatap lekat getah karet yang mengalir dari sayatan
kulitnya menuju ke sebuah wadah kecil berbentuk mangkuk. Sebanyak apa pun dan
sedalam apa pun sayatan itu dibuat, pohon karet itu tetap hidup dan tegak
berdiri. Aku ingin kisah cintaku seperti itu, tetap hidup tak peduli seberat
apa pun konflik yang kami alami. Getah itu layaknya darah dalam tubuh manusia,
manusia akan mati saat kehilangan begitu banyak darah. Ya, inilah bedanya
manusia dan tumbuhan.
Setelah puas menikmati kebun karet
ini, kusandaran tubuhku di batu besar. Rasa kagum dan penasaran mulai merambat
dibenakku. Bagaimana bisa batu sebesar ini berada di tempat yang sangat
tinggi. Siapa yang membawanya? Aku
tersenyum samar menyadari apa yang baru
saja kupikirkan.
“Sat, kau suka tempat ini?”
Kubuka mataku saat kudengar
suaranya. Kutolehkan wajah ke arahnya yang kini berada tepat di sampingku. Tak
kulihat bayangannya yang tertutup oleh tubuhku. Aku seperti bayangannya begitu
dekat namun tak mampu kusentuh. Akulah bayangannya yang selalu mengisi
pikirannya.
“Ya. Begitu sejuk dan indah. Kau
dapat banyak foto?”
“Tentu, kau mau melihatnya?”
“Sini bawa kemari kameranya,” kataku
sedikit pelan. Aku masih takut memancing kemarahannya lagi.
Dia mengangsurkan kameranya, ketika
aku hendak memegangnya dengan cepat dia menariknya. Aku kecewa telah
dipermainkan.
Kudengar suara tawa renyah mengisi
udara. Dia begitu senang telah mengerjaiku, kutemukan lagi wajah yang kukenal.
Kami berdua kemudian duduk bersandar batu besar ini.
“Sat, aku bawa kamu ke sini ada yang
mau aku omongin ke kamu.”
“Ada apa?”
“Ini Bringin, kita berada di sebuah
daerah di kabupaten Semarang. Dulu aku sering ke sini saat aku banyak masalah,
menikmati keindahan yang disuguhkan alam membuatku melupakan apa yang tengah
terjadi.”
Aku mengangguk sambil memeluk erat
kedua kaki yang kutekuk di depan wajah. Kurasakan tangannya mengusap kepalaku dan
hangat mendarat di keningku. Kecupan itu sudah lama tak kurasakan, dia sudah
kehilangan keromantisannya saat menemukan seseorang yang lain.
“Maafkan aku. Meskinya aku tak
semarah itu semalam. Aku… aku hanya tak ingin kau begitu dekat dan tertawa
lepas dengan orang lain.”
“Kau melihat semua yang aku lakukan
bersama Adam?”
Dia hanya menundukkan wajahnya, ada
raut sesal di situ.
“Sudah kukatakan dia hanya teman, tak
lebih. Kami hanya menikmati malam Minggu sebagai sahabat.”
“Aku tahu, Sat. Aku terlalu egois,
tak memikirkan apa yang kamu rasakan. Aku begitu bodoh dan nggak peka. Maafkan
aku Sat….” Kini kulihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Kudengar dengan
jelas detak jantungnya.
Aku pun sama, melihat semua kemesraan yang kau berikan pada gadismu. Rasa
yang sama juga muncul dalam benakku saat melihat hal itu. Tapi aku sadar, aku
tak lebih seperti bayangan, begitu dekat namun tak mampu kau sentuh, ucapku dalam hati.
“Jamie, aku tahu ini adalah resiko
yang harus kita ambil saat kita memilih untuk meneruskan hubungan setelah kau
jatuh hati dengannya. Kau tak mampu melepaskanku, begitu juga aku. Kau tak
mampu memilih padahal ada pilihan di antara aku dan dia. Kurelakan separuh atau
mungkin seluruh cintamu untuknya, asal kau berada di sisiku. Egois memang.”
Jamie kemudian memelukku dengan
erat, “Andai bisa kumiliki kau seutuhnya dan selamanya,” kataku lirih.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.