>

Minggu, 01 Juni 2014

Beside Your Shadow


Dia mendorong, memojokkanku di sudut kamar yang sempit ini. Aku mencoba untuk melawan, tapi lengannya yang berotot begitu keras menahan tubuh kurusku. Mata hitamnya menatapku tajam penuh kecemburuan dan rasa ingin tahu. Seakan ingin menelanku bulat-bulat. Nafasnya memburu sebuah jawaban. Aku heran tak seperti biasanya dia seperti ini, memperlakukanku begitu kasar. Menohok dengan kemarahan yang jelas terlukis di wajahnya.
Aku berontak, mengerahkan semua tenagaku untuk menyingkirkan tubuhnya yang kini semakin menindihku. Tangannya mengepal, bersiap untuk memberikan tinjunya. Kulakukan hal yang sama, sebatas persiapan jika dia memulai. Hampir setengah jam aku berada dalam posisi seperti ini, meringkuk seperti pesakitan. Air mukanya tak juga berubah, wajah yang biasanya ceria dengan senyuman itu kini merah padam dengan amarah.
Kuberanikan untuk membuka suara, “Apa maumu?”
“Siapa dia?” tanyanya dengan nada keras yang jarang aku dengar keluar dari mulutnya selama kami bersama.
“Teman…,” kataku datar. 
Dia mulai mengendurkan pertahanannya, segera kudorong tubuhnya untuk meloloskan diri. Aku bersiap untuk berlari, namun kalah cepat dengannya yang kini telah berdiri di depan pintu kosku.
“Kau tak akan pergi ke mana-mana malam ini!” bentaknya dengan suara keras yang membuat tubuhku bergetar.
Dengan cekatan dia mengunci pintu itu, mengambil kunci  dan juga menggeledahku hingga mendapatan kunci yang kubawa. Tak biasanya dia datang tiba-tiba tanpa memberitahukanku. Aku sudah begitu mempercayainya hingga kuberikan satu kunci untuknya. Tak ada pilihan lain selain mematuhinya, aku takut dia akan berbuat lebih dari yang tadi. Aku pun tak mau bila aku harus babak belur karena dia. Aku segera menuju pojokan kamar dan berusaha untuk tidak melihatnya. Mataku sudah begitu berat. Lelah yang menyergap membuatku terlelap dan tak mengacuhkannya.
“Sayang…, bangun, Yang!” Suaranya yang berat mulai mengusikku diikuti dengan guncangan dari tangannya.
Aku mulai membuka mata, kusingkirkan selimut yang menutupi tubuhku. Aku tahu selalu saja ada kelembutan dalam dirimu. Terima kasih sudah menyelimutiku semalam, batinku. Kutatap wajahnya yang secerah matahari pagi, sisa-sisa kemarahan masih ada di matanya.
***
Sinar matahari yang menyelinap masuk di antara deretan pohon karet ini begitu memukauku. Di bagian lain tampak gelap oleh bayangannya dan di sisi lain terlihat sinar matahari itu. Sejuk mulai menyentuh tubuhku. Tanah yang kupijak berwarna kemerahan, rumput-rumput yang menghijau menambah suasana damai tempat ini.
Setelah selesai dengan kegiatan pagi ini, dia langsung mengajakku ke suatu tempat yang dia rahasiakan. Tentu saja aku curiga, pikiranku dipenuhi dengan hal-hal buruk. Memukuliku di tempat sepi mungkin?
Ya, tempat ini memang sepi, jalan raya yang membelah kebun karet ini  tak begitu lebar. Jalan raya  yang menghubungkan Kedungjati dan Salatiga ini tidak banyak dilewati kendaraan. Suara serangga mengisi ruang dengarku. Kulihat batu besar yang berada di tepi kebun karet. Kontur tanah yang berbeda membuatku semakin kagum dengan  tempat ini. Aku layaknya anak kecil yang menemukan mainan baru. Aku melompat dari tanah yang lebih tinggi menuju tanah yang rendah.  Kulihat dia tengah asik memainkan kameranya setelah memarkirkan motornya di tempat yang aman. Deretan pohon karet ini memberikan perlindungan dari sinar matahari yang tidak begitu panas karena udara pegunungan yang dingin bersatu di sini.
Aku berpindah-pindah menuju setiap deretan pohon karet dan menatap lekat getah karet yang mengalir dari sayatan kulitnya menuju ke sebuah wadah kecil berbentuk mangkuk. Sebanyak apa pun dan sedalam apa pun sayatan itu dibuat, pohon karet itu tetap hidup dan tegak berdiri. Aku ingin kisah cintaku seperti itu, tetap hidup tak peduli seberat apa pun konflik yang kami alami. Getah itu layaknya darah dalam tubuh manusia, manusia akan mati saat kehilangan begitu banyak darah. Ya, inilah bedanya manusia dan tumbuhan.
Setelah puas menikmati kebun karet ini, kusandaran tubuhku di batu besar. Rasa kagum dan penasaran mulai merambat dibenakku. Bagaimana bisa batu sebesar ini berada di tempat yang sangat tinggi.  Siapa yang membawanya? Aku tersenyum samar menyadari apa yang  baru saja kupikirkan.
“Sat, kau suka tempat ini?”
Kubuka mataku saat kudengar suaranya. Kutolehkan wajah ke arahnya yang kini berada tepat di sampingku. Tak kulihat bayangannya yang tertutup oleh tubuhku. Aku seperti bayangannya begitu dekat namun tak mampu kusentuh. Akulah bayangannya yang selalu mengisi pikirannya.
“Ya. Begitu sejuk dan indah. Kau dapat banyak foto?”
“Tentu, kau mau melihatnya?”
“Sini bawa kemari kameranya,” kataku sedikit pelan. Aku masih takut memancing kemarahannya lagi.
Dia mengangsurkan kameranya, ketika aku hendak memegangnya dengan cepat dia menariknya. Aku kecewa telah dipermainkan.
Kudengar suara tawa renyah mengisi udara. Dia begitu senang telah mengerjaiku, kutemukan lagi wajah yang kukenal. Kami berdua kemudian duduk bersandar batu besar ini.
“Sat, aku bawa kamu ke sini ada yang mau aku omongin ke kamu.”
“Ada apa?”
“Ini Bringin, kita berada di sebuah daerah di kabupaten Semarang. Dulu aku sering ke sini saat aku banyak masalah, menikmati keindahan yang disuguhkan alam membuatku melupakan apa yang tengah terjadi.”
Aku mengangguk sambil memeluk erat kedua kaki yang kutekuk di depan wajah. Kurasakan tangannya mengusap kepalaku dan hangat mendarat di keningku. Kecupan itu sudah lama tak kurasakan, dia sudah kehilangan keromantisannya saat menemukan seseorang yang lain.
“Maafkan aku. Meskinya aku tak semarah itu semalam. Aku… aku hanya tak ingin kau begitu dekat dan tertawa lepas dengan orang lain.”
“Kau melihat semua yang aku lakukan bersama Adam?”
Dia hanya menundukkan wajahnya, ada raut sesal di situ.
“Sudah kukatakan dia hanya teman, tak lebih. Kami hanya menikmati malam Minggu sebagai sahabat.”
“Aku tahu, Sat. Aku terlalu egois, tak memikirkan apa yang kamu rasakan. Aku begitu bodoh dan nggak peka. Maafkan aku Sat….” Kini kulihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Kudengar dengan jelas detak jantungnya.
Aku pun sama, melihat semua kemesraan yang kau berikan pada gadismu. Rasa yang sama juga muncul dalam benakku saat melihat hal itu. Tapi aku sadar, aku tak lebih seperti bayangan, begitu dekat namun tak mampu kau sentuh, ucapku dalam hati.
“Jamie, aku tahu ini adalah resiko yang harus kita ambil saat kita memilih untuk meneruskan hubungan setelah kau jatuh hati dengannya. Kau tak mampu melepaskanku, begitu juga aku. Kau tak mampu memilih padahal ada pilihan di antara aku dan dia. Kurelakan separuh atau mungkin seluruh cintamu untuknya, asal kau berada di sisiku. Egois memang.”
Jamie kemudian memelukku dengan erat, “Andai bisa kumiliki kau seutuhnya dan selamanya,” kataku lirih.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.