>

Senin, 14 April 2014

Bloody Jealous



“Kaupantas mendapatkan ini dasar, jalang!” makiku sambil mengguratkan sebuah tanda di pipinya yang halus.
Dia mengerang. Merintih menahan perih. Airmatanya menyatu dengan merah darah yang mengalir. Bibirnya seakan ingin berkata-kata, tapi tak ada sepotong kata pun yang keluar.
Kuangkat sosok itu, yang terasa ringan bagiku. Bug!!! Sosok itu pun jatuh dengan bebas ke lantai. darah segar kembali merekah.
Tetesan darah itu menggenang di lantai. Aku hanya terdiam saja melihat semua ini. Seulas senyum terbit di wajahku.
Semuanya baik-baik saja. Tak ada apapun yang terjadi, batinku menenangkan diri.
Sejenak kulirikkan mata menuju sosok yang berada di atas lantai. Sosoknya kini telah tak bernyawa bersimbah dengan darah. Sisa-sisa kecantikan masih tampak di wajah pucatnya yang penuh luka.
Andai saja dia tak datang, dan tak terjadi pertengkaran itu. Semuanya tak akan terjadi, pikirku.
Aku bersiap untuk meninggalkan gudang tak terpakai ini. Bau apak yang pekat mengisi hidungku. Kubersihkan baju dan celanaku dari debu yang melekat, serta menaikkan celana dan menutup resletingnya. Entah apa yang menguasaiku tadi, libidoku tiba-tiba saja menjadi tinggi melihat sosoknya yang bersimbah darah. Yang melintas di pikiranku hanya menyetubuhinya sampai puas. Bahkan tak ada rasa iba yang ada hanya ekspresi kepuasan saat aku mencapai klimaks.
Aku segera meninggalkan tempat itu. Tak akan ada rasa sesal sampai sesuatu yang tak kuinginkan  terjadi. Tak akan ada pembunuhan itu jika aku tak cemburu buta. Dan aku tak akan berpura-pura mengalami sakit jiwa hingga bisa membuatku terbebas dari semua tuduhan.
Tak lupa kubisikkan kata maaf di telinga sosok itu. Ya, sosok kekasihku. Meski kutahu semua itu tak akan merubah segalanya atau bahkan menghidupkannya kembali. Anyir darah masih tercium kuat melekat di tubuhku.
Kustarter motor dan segera kulajukan dengan kencang. Dengan langkah yang tak lagi tegap. Nyaris terhuyung, kulangkahkan kakiku menyusuri gedung yang seharusnya aku tak pergi ke situ. Ya, seharusnya aku pergi sejauh-jauhnya hingga tak ada yang bisa menemukanku.

Tanganku mengenggam pisau lipat yang selalu kubawa. Tapi kini pisau itu berlumuran darah. Aku tahu, aku baru saja menginjak usia 17. Usia yang masih sangat labil. Kututurkan semua kejadian itu pada polisi saat kutaruh pisau lipat di atas meja. Setidaknya aku berani mengakui semuanya. Aku tak mau dihantui rasa bersalah yang akan selalu muncul di kepalaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.