“Kaupantas mendapatkan ini dasar, jalang!” makiku
sambil mengguratkan sebuah tanda di pipinya yang halus.
Dia mengerang. Merintih menahan perih. Airmatanya
menyatu dengan merah darah yang mengalir. Bibirnya seakan ingin berkata-kata,
tapi tak ada sepotong kata pun yang keluar.
Kuangkat sosok itu, yang terasa ringan bagiku. Bug!!! Sosok itu pun jatuh dengan bebas
ke lantai. darah segar kembali merekah.
Tetesan
darah itu menggenang di lantai. Aku hanya terdiam saja melihat semua ini.
Seulas senyum terbit di wajahku.
Semuanya baik-baik saja. Tak ada apapun yang
terjadi,
batinku menenangkan diri.
Sejenak
kulirikkan mata menuju sosok yang berada di atas lantai. Sosoknya kini telah
tak bernyawa bersimbah dengan darah. Sisa-sisa kecantikan masih tampak di wajah
pucatnya yang penuh luka.
Andai saja dia tak datang, dan tak terjadi
pertengkaran itu. Semuanya tak akan terjadi, pikirku.
Aku bersiap
untuk meninggalkan gudang tak terpakai ini. Bau apak yang pekat mengisi
hidungku. Kubersihkan baju dan celanaku dari debu yang melekat, serta menaikkan
celana dan menutup resletingnya. Entah apa yang menguasaiku tadi, libidoku
tiba-tiba saja menjadi tinggi melihat sosoknya yang bersimbah darah. Yang
melintas di pikiranku hanya menyetubuhinya sampai puas. Bahkan tak ada rasa
iba yang ada hanya ekspresi kepuasan saat aku mencapai klimaks.
Aku segera
meninggalkan tempat itu. Tak akan ada rasa sesal sampai sesuatu yang tak kuinginkan terjadi. Tak akan ada
pembunuhan itu jika aku tak cemburu buta. Dan aku tak akan berpura-pura
mengalami sakit jiwa hingga bisa membuatku terbebas dari semua tuduhan.
Tak lupa
kubisikkan kata maaf di telinga sosok itu. Ya, sosok kekasihku. Meski kutahu
semua itu tak akan merubah segalanya atau bahkan menghidupkannya kembali. Anyir
darah masih tercium kuat melekat di tubuhku.
Kustarter
motor dan segera kulajukan
dengan kencang. Dengan langkah yang tak lagi tegap. Nyaris terhuyung,
kulangkahkan kakiku menyusuri gedung yang seharusnya aku tak
pergi ke situ. Ya, seharusnya aku pergi sejauh-jauhnya hingga tak ada yang bisa
menemukanku.
Tanganku
mengenggam pisau lipat yang selalu kubawa. Tapi kini pisau itu berlumuran
darah. Aku tahu, aku baru saja menginjak usia 17. Usia yang masih sangat labil.
Kututurkan semua kejadian itu pada polisi saat kutaruh pisau lipat di atas
meja. Setidaknya aku berani mengakui semuanya. Aku tak mau dihantui rasa
bersalah yang akan selalu muncul di kepalaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.