“Happiness
is not something ready made. It comes from your own actions.” Dalai Lama XIV
Di sinilah aku sekarang, di sebuah tempat yang bahkan aku tak pernah
membayangkannya apalagi berpikir untuk mengunjunginya. Di jantung Nusa Dua, bersama
dengan pantai yang dikelilingi oleh restoran-restoran elit dan juga hotel
berbintang. Hampir saja aku lupa bahwa di sini juga ada shopping centre, spa, theater dan museum. Indah. Itulah yang bisa
kukatakan saat melihat pemandangan hijau yang berpadu apik dengan
bangunan-bangunan modern. Aku hampir
saja tak bisa berdecak kagum melihat semua ini. Sesuatu yang tak bisa kutemukan
di tempat tinggalku. Ya, karena di tempatku hanya ada pantai kotor yang dengan
susah payah kucoba untuk membersihkannya serta tanaman mangrove yang kugagas
untuk dikonservasi demi menjaga pantaiku, dan juga tempat tinggalku. Tempatku
berada sekarang terletak di Bali Tourism Development Centre di Nusa Dua, Bali.
Tempat ini bernama The Bay Bali.
“Kau suka di sini?” tanya Michael.
Seketika saja aku terbangun dari lamunanku. Kulihat sosok pria bule
berambut pirang itu. Kutatap matanya yang memancarkan kedamaian dari manik
birunya.
“Ya, sangat. Aku begitu senang. Terima kasih sudah membagi kebahagianmu
bersamaku,” ujarku sambil memegang tangannya yang kuat.
“Tak perlu sungkan. Saya pikir ini adalah hadiah yang pantas untukmu.
Untuk seorang aktivis lingkungan yang tanpa lelah berusaha menyelamatkan bumi
ini.” Kalimat formal itu meluncur dari bibir Michael yang tipis, terasa sangat
sentimental.
“Tak perlu memujiku seperti itu….”
“Tapi, Anna, kau memang pantas mendapatkannya!”
Aku semakin saja tersanjung. Jika aku sebuah es krim, pasti aku akan
meleleh dengan cepat, terbakar oleh pujiannya. Michael, seorang Amerika yang datang ke tempat tinggalku,
sebuah desa di tepi pantura Jawa Tengah. Seorang aktivis dan peneliti
lingkungan. Sebagai satu-satunya orang di desaku yang mampu berbahasa Inggris
dengan baik, mau tidak mau aku pun harus membantunya dalam kesehariannya di
desa kami. Selain itu kami juga punya passion
yang sama—lingkungan.
“Kau mau berjalan-jalan ke pantai?” ajaknya lembut.
“Tentu,” jawabku sambil menganggukan kepalaku.
Pasir putih nan lembut di
pantai resort The Bay Bali ini menyentuh nakal kedua pasang kaki mereka.
Sesekali pasir yang basah menyesapkan air laut ke dalam pori-pori mereka. Angin
pantai sore hari membawa kedamaian saat menyentuhku.
“Kau mau ikut melepaskan
tukik-tukik itu?” tanyanya sambil menunjuk segerombolan orang yang bersiap
melepaskan tukik-tukik ke luasnya samudra.
“Tukik???” tanyaku heran.
“Bayi-bayi penyu,” kata
Michael lembut.
“Oh, iya. Aku akan sangat
senang sekali bisa membantu mereka menemui kebahagiaan di laut sana.”
“Mari, kita ke sana!”
Tangannya kini menggandeng tanganku. Kurasakan hangat menjalar di sekujur
tubuhku.
Michael mengambil satu ekor
bayi penyu, menaruhnya di telapak tangannya. Keempat kakinya bergerak-gerak
kecil, seakan berkata aku siap untuk menuju ke sana, ke luasnya samudra.
Setelah puas memandangnya Michael pun meletakkan tukik itu ke sebuah wadah
kecil dengan air di dalamnya. Anna di sebelahnya hanya memandangnya tanpa
berkedip. Entah apa yang melintas dibenaknya, pikirannya terlepas dari raganya
menuju luasnya lamunan tanpa batas.
“Kau sudah mengambil
seekor?” tanya Michael.
Anna pun sadar setelah
mendengar suara Michael. “Belum, sebentar lagi. Mmm… bisakah kau pilihkan yang
mana yang akan cocok denganku?”
“Semuanya akan cocok
denganmu, tak aka nada yang menggigitmu. Percayalah,” bujuk Michael.
“Aku harap begitu. Kau pasti
tahu benar kalau aku punya masalah dengan binatang.”
“Tenanglah, coba lihat
mereka. Mereka begitu lucu dan mereka kelihatan sudah tak sabaran untuk
berenang di tempat yang lebih luas.”
Dengan ragu, Anna mengambil
seekor tukik yang kelihatan lebih besar dari yang lainnya. Tangannya merasa
geli saat kulitnya bersentuhan dengan binatang kecil itu. Segera ia
meletakkannya ke sebuah wadah.
“Anna, pernahkah kau
berpikir kenapa kita harus melepaskan tukik-tukik ini? Yang pada
kenyataannya setelah mereka dilepaskan
mereka harus berjuang untuk tetap bisa hidup di luasnya samudra.”
“Pertama karena kita harus
membantu setiap makhluk hidup untuk mendapatkan kebahagiaannya. Mereka akan
lebih bahagia jika hidup di tempatnya. Benar-benar tempatnya bukan di akuarium
atau sejenisnya. Kedua kebahagiaan tidak datang begitu saja mereka harus
memperjuangkannya
Kemudian kami menuju barisan orang yang telah
membawa tukik masing-masing dan bersiap melepaskannya. Wajah-wajah ceria penuh
senyum dan tawa menghiasi setiap orang di sini. Aku pun sangat antusias.
Kami berjongkok dan
melepaskan tukik-tukik itu. Kaki-kaki kecil mereka segera bergerak menuju laut.
Ombak pun menyapa mereka seolah berkata selamat datang.
Semoga kalian mendapatkan kebahagiaan kalian di sana, batinku.
***
Malam tak juga menghilangkan
pesona tempat ini. Michael mengajakku untuk makan malam bersama. Setelah
berdebat sedikit lama, akhirnya kupilih untuk makan di Bumbu Nusantara, sebuah
restoran masakan Indonesia. Tentu saja dengan pertimbangan bahwa aku pun pasti
tak akan bisa menikmati makanan barat. Michael pun menyetujuinya.
Restoran ini sangat indah
dengan dinding kayu dan meja kursi yang terbuat dari kayu juga. Di depannya ada
banyak sepeda onthel dan becak. Alangkah indahnya kalau bisa naik sepeda onthel
bersama orang yang aku cintai. Kusapukan pandanganku ke setiap titik di
restoran ini. Beberapa benda yang difungsikan sebagai pajangan menggelitikku.
Ya, sesuatu yang biasanya digunakan untuk berjualan—gerobak jualan—itu dipajang
begitu cantiknya. Beberapa tempat untuk mengurung ayam, ayakan padi dan juga
sepeda tukang jamu lengkap dengan botol-botol jamunya. Semuanya tertata dengan
artistik menambah keindahan tempat ini.
“Anna, menurutmu apa arti
bahagia?” tanya Michael seusai menyantap hidangan makan malam kami.
“Bahagia itu sederhana. Tak
perlu sesuatu yang mewah. Bersyukur dan berbagi.”
“Dan juga juga kebahagiaan
itu tercipta dari apa yang kita
lakukan,” sambung Michael.
Aku hanya tersipu malu.
Suasana restoran ini sangat romantis. Banyak pasangan yang memilih makan di
tempat ini.
“Anna, ada sesuatu yang
ingin kukatakan padamu,” kata Michael dengan nada serius.
“Apa?” tanyaku dalam hati.
“Aku harus segera pulang ke
Amerika. Ada sesuatu yang harus kuurus di sana.”
Aku terkejut mendengar
kata-kata Michael. Secepat inikah aku harus meninggalkannya. Sosoknya lambat
laun telah mengisi hatiku.
“Tetaplah melakukan hal-hal
yang baik. Karena aku yakin itu akan mendatangkan kebahagiaan untukmu.”
Aku hanya menganggukan
kepala. Kugenggam tangannya lebih erat dari tadi. Dia pun melakukan hal yang
sama.
“Aku akan segera kembali,
karena aku takkan bisa lama meninggalkan hatiku di sini.”
“I love you, Ann.”
Seulas senyum terbit di
wajahku. “I love you too.”
Perpisahan tidak selalu
tentang air mata, tapi juga meninggalkan kebahagiaan yang sangat besar di hati
Anna dan Michael.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered.
bagus... sayang cuma kurang konsisten di sudut pandangnya. Kadang orang ketiga, kadang sudut pandang org pertama... :)
BalasHapusTerima kasih. Harus lebih teliti lagi nih...
Hapus