>

Kamis, 13 Februari 2014

My Dearest Best Friend

My Dearest Best Friend
“Tunggu!!!” Kudengar sebuah suara dari arah belakangku. Kutolehkan kepalaku, kulihat seorang lelaki sedang tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Kuhentikan langkahku untuk memberinya kesempatan menemuiku, wajahnya kini telah jelas terpampang di depanku. Kulihat tangan kanannya membawa tumpukan buku yang sangat tebal.
“Ada apa Joseph?” tanyaku. Mataku bergerilya memandang sosoknya yang kecapekan.
“Enggak, aku cuma mau ngasih buku-buku ini, maksudku meminjaminya “, jawabnya sambil menyerahkan tumpukan buku tebal ke depanku. Kusambut uluran tangannya yang menyerahkan buku-buku itu kulihat sekilas judulnya, Theory of Literature, Psychology of Literature dan yang lainnya.
“Mungkin, ini akan membantumu menyusun landasan teori skripsimu”, katanya  dengan nada yang sangat yakin.  Tanpa memandangku dan  menundukkan kepalanya.
“Bagaimana denganmu?” Kutatap matanya yang fokus pada sebuah titik di bawahnya.
“Kamu ngapain, Cheryll?” Kali ini suaranya tidak sedatar tadi, matanya mulai menatap mataku, kualihkan pandanganku saat Joseph mulai menatap kedua bola mataku.
“Akhirnya, dia menatapku juga, jujur ini adalah sesuatu yang aku tunggu-tunggu”, kataku dalam hati.
“Aku sudah sampai bab tiga, jadi tinggal melakukan penelitian saja, aku duluan ya,” ucapnya sambil bersiap berlalu dari hadapanku.
“Trims”, kataku singkat.
Kulihat senyuman terbit di wajahnya yang menambah pesona ragawinya. Kagum. Aku masih tetap berdiri mematung sampai tak kudapati lagi sosoknya, pikiranku sedikit kacau. Aku mencoba untuk tetap sadar dan realistis mencoba menganggap ini adalah bentuk perhatian dari seorang sahabat. Bahkan kini aku tak bisa membedakan antara batas persahabatan dan cinta, akhir-akhir ini perhatiannya terlalu intens kepadaku. Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun dia selalu terbuka kepadaku, namun entah kenapa seiring dengan perhatian yang dia berikan, dia menjadi agak menjauh dan selalu tampak malu saat berbicara padaku. Setidaknya aku pun merasa nyaman dan tak terbebani dengan perhatiannya, aku menerimanya dengan hati yang terbuka karena kurasakan getaran-getaran aneh setiap kali menatapnya.
Kurasakan sebuah tepukan lembut di pundakku, kudengar sebuah suara yang hampir memekik yang membangunkanku dari lamunan. “Lagi ngapain, bengong di sini?” ucap Ella.
“Nggak ngapa-ngapain, kamu ikut remidi juga?” tanyaku padanya.
“Tentulah, kamu juga ya?
“Iya”, jawabku pendek. Kuajak Ella memasuki kelas, kulihat beberapa mahasiswa yang telah menempatkan dirinya dan sebuah kejutan ternyata cukup banyak yang mengikuti remidi mata kuliah Introduction to Literature. Kupilih sebuah kursi di pojok kelas, Ella pun mengikuti duduk di sebelahku.
“Drddddd” ponselku bergetar di saku celanaku. Kulihat layar ponselku “Semangat ya remidinya, semoga nilainya bisa berubah, Joseph”.
Wish me luck n thank you”, kubalas SMS dari Joseph singkat tapi penuh makna. Pikiranku kembali kacau aku merasa aneh saat menerima SMS-nya, SMS seperti ini pun sering aku terima darinya tapi mungkin karena aku yang terlalu berharap atau aku yang mulai tak mampu membendung rasa ini hingga aku tak bisa membedakan mana yang nyata dan khayalan. Hanya ada satu kata yang harus kuperhatikan. Fokus.
“Cheryll, kamu melamun lagi?” tanya Ella.
“Enggak, emang kenapa?”
“Kamu dari tadi bengong, trus gak ngedengerin penjelasan dosen.”
“Owh, sudah datang dosennya?”
“Liat ke depan, dosennya udah berkicau dari tadi.”
Kutandatangani sebuah daftar hadir yang beredar dari meja ke meja. Aku mencoba kembali fokus pada setiap penjelasan yang diberikan dosen. Tak lama setelah itu pertemuan pertama ini pun diakhiri. Aku masih menunggu giliran mengangkat tangan saat namaku dipanggil oleh dosen.
Kulangkahkan kakiku menuju ke perpustakaan, di depan kelas kulihat Joseph sedang melambaikan tangannya ke arahku, kucepatkan langkahku untuk mencapainya. Senyum kembali menghiasi wajah berkaca mata itu, kubalas senyumannya, kulihat tatapan penuh cinta dari kedua bola matanya. Entah ini nyata atau hanya ilusiku saja. Aku tahu bahwa kami pun memiliki rasa saling memiliki, aku tak sungkan meminta tolong saat aku butuh pertolongan, dia pun tak enggan meminjamkan bahunya saat aku terpuruk dengan kisah cintaku yang kandas, Joseph pun sebaliknya tapi dia hampir tak pernah bercerita tentang kisah cintanya.
“Udah selesai?” tanyanya sambil berdiri dari duduknya.
“Iya, tapi ini ada tugas, aku harus ke perpustakaan nyari cerpen.”
“Oke, aku temani ya.”
“Kamu nggak ada kegiatan lain ya?”
Joseph hanya menggeleng. Kurasakan tangannya mencoba meraih tanganku, dan mengenggamnya erat selama perjalanan ke perpustakaan. Aku hanya bisa terdiam dan tak mampu untuk menolaknya.
“Joseph, kalau kamu suka sama aku itu bilang lah, biar aku nggak salah mengartikan semua ini”, kataku dalam hati setengah jengkel.
Aku masih ingat betapa mesranya kami dulu sebelum aku berpacaran dengan seorang lelaki lain, teman-teman mengira aku sudah jadian dengannya, padahal kami hanya sahabat. Kami adalah sepasang sahabat yang mesra. Tiap ada dia aku pun selalu ada dan kami sering menghabiskan waktu bersama. Pasangan aneh. Joseph mundur perlahan saat mengetahui statusku saat itu, dan kini dia mulai mendekat padaku, aku tahu dalam setiap tatapannya kutemukan cinta dan ketulusan.
“Tuhan, inikah cinta yang sebenarnya? Cinta yang baru saja aku sadari telah lama bersemi dalam hatiku dan hatinya?” tanyaku dalam hati.
“Cheryll, ini kayaknya cocok buat tugasmu”, katanya sambil memberikan sebuah buku antologi cerpen.
“Cerpen yang mana?”
“Ini, yang The Gift of the Magi karyanya O.Henry, aku sudah pernah baca dan bagus.”
“Aku percaya ma kamu lah, kamu kan jarang ikut remidi dan tugasnya kan cuma menganalisis unsur instrinsiknya aja, jadi apapun cerpennya tidak masalah.”
“Oke, aku mau ngomong sesuatu.” Kudengar suara Joseph terbata namun kata-katanya tak terselesaikan hingga membuatku penasaran.
“Cheryll, aku sebenarnya suka sama kamu, namun aku tak punya cukup keberanian untuk menyatakannya, aku takut kehilanganmu sebagai sahabat tapi aku juga takut saat kau tak menerimaku. Aku tak ingin merusak persahabaatan kita dengan rasa benci yang mungkin muncul saat aku kecewa. Aku tahu siapa aku, Tapi aku juga tak bisa menampik rasa ini”, batin Joseph.
Dengan segera dia berlalu dari hadapanku. Joseph selalu tampak aneh dan ragu saat dia ingin mengutarakan sesuatu padaku akhir-akhir ini.  Kubuka buku yang dipinjamkan Joseph, di halaman pertama kulihat sebuah kertas kubaca tulisannya, “Dear, Cheryll would you be mine? Be my girlfriend. I truly love you since we became bestfriend” kulihat sebuah nama tertulis di bawah pesan itu Joseph.
Aku merasa sepert orang yang baru saja menang lotre. Senang dan akhirnya semua kecurigaanku terjawab sudah.
Keesokan harinya kutemui Joseph di kampus, aku tak ragu lagi memeluknya dia masih terdiam, dan dia mengeratkan pelukannya.
“Aku sudah membaca pesanmu, dan ini adalah jawabanku”, kubisikkan kata-kata ini pada Joseph.
Sebuah kecupan mendarat di keningku dan Joseph pun masih diam. Aku tahu tanpa dia berbicara kalau dia sangat senang dan tanpa kata cinta yang terucap langsung dari mulut kami, kami resmi menjadi kekasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.