My
Dearest Best Friend
“Tunggu!!!” Kudengar sebuah
suara dari arah belakangku. Kutolehkan kepalaku, kulihat seorang lelaki sedang
tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Kuhentikan langkahku untuk memberinya
kesempatan menemuiku, wajahnya kini telah jelas terpampang di depanku. Kulihat
tangan kanannya membawa tumpukan buku yang sangat tebal.
“Ada apa Joseph?” tanyaku.
Mataku bergerilya memandang sosoknya yang kecapekan.
“Enggak, aku cuma mau ngasih
buku-buku ini, maksudku meminjaminya “, jawabnya sambil menyerahkan tumpukan
buku tebal ke depanku. Kusambut uluran tangannya yang menyerahkan buku-buku itu
kulihat sekilas judulnya, Theory of
Literature, Psychology of Literature dan yang lainnya.
“Mungkin, ini akan
membantumu menyusun landasan teori skripsimu”, katanya dengan nada yang sangat yakin. Tanpa memandangku dan menundukkan kepalanya.
“Bagaimana denganmu?”
Kutatap matanya yang fokus pada sebuah titik di bawahnya.
“Kamu ngapain, Cheryll?”
Kali ini suaranya tidak sedatar tadi, matanya mulai menatap mataku, kualihkan
pandanganku saat Joseph mulai menatap kedua bola mataku.
“Akhirnya, dia menatapku
juga, jujur ini adalah sesuatu yang aku tunggu-tunggu”, kataku dalam hati.
“Aku sudah sampai bab tiga,
jadi tinggal melakukan penelitian saja, aku duluan ya,” ucapnya sambil bersiap
berlalu dari hadapanku.
“Trims”, kataku singkat.
Kulihat senyuman terbit di
wajahnya yang menambah pesona ragawinya. Kagum. Aku masih tetap berdiri
mematung sampai tak kudapati lagi sosoknya, pikiranku sedikit kacau. Aku
mencoba untuk tetap sadar dan realistis mencoba menganggap ini adalah bentuk
perhatian dari seorang sahabat. Bahkan kini aku tak bisa membedakan antara
batas persahabatan dan cinta, akhir-akhir ini perhatiannya terlalu intens
kepadaku. Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun dia selalu terbuka kepadaku,
namun entah kenapa seiring dengan perhatian yang dia berikan, dia menjadi agak
menjauh dan selalu tampak malu saat berbicara padaku. Setidaknya aku pun merasa
nyaman dan tak terbebani dengan perhatiannya, aku menerimanya dengan hati yang
terbuka karena kurasakan getaran-getaran aneh setiap kali menatapnya.
Kurasakan sebuah tepukan
lembut di pundakku, kudengar sebuah suara yang hampir memekik yang
membangunkanku dari lamunan. “Lagi ngapain, bengong di sini?” ucap Ella.
“Nggak ngapa-ngapain, kamu
ikut remidi juga?” tanyaku padanya.
“Tentulah, kamu juga ya?
“Iya”, jawabku pendek.
Kuajak Ella memasuki kelas, kulihat beberapa mahasiswa yang telah menempatkan
dirinya dan sebuah kejutan ternyata cukup banyak yang mengikuti remidi mata
kuliah Introduction to Literature. Kupilih
sebuah kursi di pojok kelas, Ella pun mengikuti duduk di sebelahku.
“Drddddd” ponselku bergetar
di saku celanaku. Kulihat layar ponselku “Semangat ya remidinya, semoga
nilainya bisa berubah, Joseph”.
“Wish me luck n thank you”, kubalas SMS dari Joseph singkat tapi
penuh makna. Pikiranku kembali kacau aku merasa aneh saat menerima SMS-nya, SMS
seperti ini pun sering aku terima darinya tapi mungkin karena aku yang terlalu
berharap atau aku yang mulai tak mampu membendung rasa ini hingga aku tak bisa
membedakan mana yang nyata dan khayalan. Hanya ada satu kata yang harus
kuperhatikan. Fokus.
“Cheryll, kamu melamun
lagi?” tanya Ella.
“Enggak, emang kenapa?”
“Kamu dari tadi bengong,
trus gak ngedengerin penjelasan dosen.”
“Owh, sudah datang dosennya?”
“Liat ke depan, dosennya
udah berkicau dari tadi.”
Kutandatangani sebuah daftar
hadir yang beredar dari meja ke meja. Aku mencoba kembali fokus pada setiap
penjelasan yang diberikan dosen. Tak lama setelah itu pertemuan pertama ini pun
diakhiri. Aku masih menunggu giliran mengangkat tangan saat namaku dipanggil
oleh dosen.
Kulangkahkan kakiku menuju
ke perpustakaan, di depan kelas kulihat Joseph sedang melambaikan tangannya ke
arahku, kucepatkan langkahku untuk mencapainya. Senyum kembali menghiasi wajah
berkaca mata itu, kubalas senyumannya, kulihat tatapan penuh cinta dari kedua
bola matanya. Entah ini nyata atau hanya ilusiku saja. Aku tahu bahwa kami pun
memiliki rasa saling memiliki, aku tak sungkan meminta tolong saat aku butuh
pertolongan, dia pun tak enggan meminjamkan bahunya saat aku terpuruk dengan
kisah cintaku yang kandas, Joseph pun sebaliknya tapi dia hampir tak pernah
bercerita tentang kisah cintanya.
“Udah selesai?” tanyanya
sambil berdiri dari duduknya.
“Iya, tapi ini ada tugas, aku
harus ke perpustakaan nyari cerpen.”
“Oke, aku temani ya.”
“Kamu nggak ada kegiatan
lain ya?”
Joseph hanya menggeleng.
Kurasakan tangannya mencoba meraih tanganku, dan mengenggamnya erat selama
perjalanan ke perpustakaan. Aku hanya bisa terdiam dan tak mampu untuk
menolaknya.
“Joseph, kalau kamu suka
sama aku itu bilang lah, biar aku nggak salah mengartikan semua ini”, kataku
dalam hati setengah jengkel.
Aku masih ingat betapa
mesranya kami dulu sebelum aku berpacaran dengan seorang lelaki lain, teman-teman
mengira aku sudah jadian dengannya, padahal kami hanya sahabat. Kami adalah
sepasang sahabat yang mesra. Tiap ada dia aku pun selalu ada dan kami sering
menghabiskan waktu bersama. Pasangan aneh. Joseph mundur perlahan saat
mengetahui statusku saat itu, dan kini dia mulai mendekat padaku, aku tahu
dalam setiap tatapannya kutemukan cinta dan ketulusan.
“Tuhan, inikah cinta yang
sebenarnya? Cinta yang baru saja aku sadari telah lama bersemi dalam hatiku dan
hatinya?” tanyaku dalam hati.
“Cheryll, ini kayaknya cocok
buat tugasmu”, katanya sambil memberikan sebuah buku antologi cerpen.
“Cerpen yang mana?”
“Ini, yang The Gift of the Magi karyanya O.Henry,
aku sudah pernah baca dan bagus.”
“Aku percaya ma kamu lah,
kamu kan jarang ikut remidi dan tugasnya kan cuma menganalisis unsur
instrinsiknya aja, jadi apapun cerpennya tidak masalah.”
“Oke, aku mau ngomong
sesuatu.” Kudengar suara Joseph terbata namun kata-katanya tak terselesaikan
hingga membuatku penasaran.
“Cheryll, aku sebenarnya
suka sama kamu, namun aku tak punya cukup keberanian untuk menyatakannya, aku
takut kehilanganmu sebagai sahabat tapi aku juga takut saat kau tak menerimaku.
Aku tak ingin merusak persahabaatan kita dengan rasa benci yang mungkin muncul
saat aku kecewa. Aku tahu siapa aku, Tapi aku juga tak bisa menampik rasa ini”,
batin Joseph.
Dengan segera dia berlalu
dari hadapanku. Joseph selalu tampak aneh dan ragu saat dia ingin mengutarakan
sesuatu padaku akhir-akhir ini. Kubuka
buku yang dipinjamkan Joseph, di halaman pertama kulihat sebuah kertas kubaca
tulisannya, “Dear, Cheryll would you be
mine? Be my girlfriend. I truly love you since we became bestfriend”
kulihat sebuah nama tertulis di bawah pesan itu Joseph.
Aku merasa sepert orang yang
baru saja menang lotre. Senang dan akhirnya semua kecurigaanku terjawab sudah.
Keesokan harinya kutemui
Joseph di kampus, aku tak ragu lagi memeluknya dia masih terdiam, dan dia
mengeratkan pelukannya.
“Aku sudah membaca pesanmu,
dan ini adalah jawabanku”, kubisikkan kata-kata ini pada Joseph.
Sebuah kecupan mendarat di
keningku dan Joseph pun masih diam. Aku tahu tanpa dia berbicara kalau dia
sangat senang dan tanpa kata cinta yang terucap langsung dari mulut kami, kami
resmi menjadi kekasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.