“Lo
udah ngerjain PR Fisika?” tanya Anita.
“Emang
ada PR?”
jawab Rian.
Dua
manusia itu saling menatap. Heran, satu sama lain. Anita terpukul ketika
mendengar jawaban Rian. Harapannya pupus untuk bisa menyalin PR-nya Rian.
“Lo
gak tahu kalau ada PR?"
Rian
menggeleng.
"Okey,
nasib sial bagi gue
hari ini", tutur Anita pelan.
Trett....
Trett... Trettt….
Siswa-siswi
mulai memasuki kelas. Jam
pelajaran pertama itu pun siap dimulai. Anita mulai gelisah.
Matanya beredar ke seluruh kelas. Tak didapatinya wajah-wajah yang belum
mengerjakan PR. Dari ujung matanya dia melirik ke teman sebangkunya. Buku Fisika sudah ada di meja. Rian teman
sebangku Anita tampak tenang meski belum mengerjakan PR.
“Eh,
ntar gimana kalau Pak Mus tahu kita belum ngerjain PR. Dia kan killer banget. Bisa-bisa kita dapat
hukuman nih,”
kata Anita panjang lebar.
“Kita???
Lo aja kali”,
canda Rian.
“Bukannya
elo
bilang belum buat? Dan gak tahu??”
“Gue
udah buat kok, cuma males aja kalau lo salin. Makanya usaha, ngerjain. Jangan ngandelin
aku terusss....”
Anita
tak berdaya mendengar kata-kata pedas Rian. Anita bersiap beranjak dari bangku.
Namun terlambat Pak Mus baru saja masuk. Tanpa Anita sadari tangannya telah
digenggam oleh Rian.
“Ngapain
pegang-pegang?”
“Gue
cuma...”
“Mau
mencegah gue keluar?”
Rian
mengangguk.
Ya,
Tuhan kenapa nasib gue selalu sial. Kesialan pertama gue kenapa bisa dapat undian
duduk sebelahan sama cowok lebay, pelit dan nyebelin. Kesialan kedua gue, gue
belum ngerjain PR Fisika
hari ini.
“Anita...
Anita.....”,
suara Pak Mus memanggilnya.
Rian
mengguncangkan tubuh Anita. Menyadarkannya.
“Putri
Pelamun, lo dipanggil Pak Mus tuh”,
bisik Rian sambil menunjuk
ke arah depan.
“Mampus
gue!!! Iya, Pak”.
‘Mana
PR-mu?”
“Emmm....
Ng....”
“Jawab!!!
Kenapa cuma menggumam!”
“Anu
Pak... Emmm saya lupa....”
Wajah
Anita memerah. Terbakar. Selang sedetik kemudian terdengar suara koor kelas, “Huuuuu.....”
“KELUAR!!!” teriak Pak Mus.
Dengan
sigap Anita menenteng buku Fisikanya, berjalan menuju pintu. Kelas menjadi
senyap. Tak ada yang berani bersuara ketika Pak Mus marah. Saat Pak Mus
menyuruh siswanya keluar dari kelas ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
beliau meminta mengerjakan di luar. Kemungkinan kedua beliau tidak menghendaki
hal tersebut yang berarti tak ada nilai bagi siswa yang dihukum.
Anita
menunduk, rambut panjangnya sengaja diacak-acak hingga menutupi wajahnya. Kesan
menakutkan dan tertekan menghiasinya. Langkahnya begitu berat. Hingga dia pun
menyeret langkahnya.
“Sial
banget gue!!! Sekarang
gue harus gimana? Seorang Anita yang dikenal sebagai ketua OSIS yang cantik dan
mempesona dikeluarin dari kelas. Dengan alasan yang gak banget!!! Huffft si
Rian juga tega banget gak mau nyontekin gue!!! Kesel.... Kesel!!!” rutuk Anita meratapi nasibnya.
Anita masih saja mengacak-acak rambutnya di depan kelas.
Sekolah
tampak lengang. Tak ada siswa yang berkeliaran. Diambilnya selembar kertas dari
bukunya. Anita kemudian duduk di
atas
alas kertas sambil menyandarkan kepalanya di tiang depan ruang kelasnya.
***
Gerimis
tipis turun membasahi bumi. Anita menatap setiap tetesan hujan. Angin bertiup
kencang menyentuh tubuhnya. Dingin.
“Pake
ini, lo bisa masuk angin ntar”.
Anita
melihat sebuah jaket diangsurkan
padanya. Matanya tak berniat menatap siapa yang memberinya jaket. Suara itu
jelas-jelas dikenalinya.
“Lo
kenapa pake ikut acara keluar?”
tanya Anita tanpa menatapnya.
“Menemanimu”.
Anita seolah mendengar petir
sedang menyambar. Dia mencubit tangannya. Sakit. Dia membuka telinganya
lebar-lebar. Gak ada petir.
“Gak
perlu!!!”
tukas Anita.
“Ok.
Gue masuk lagi. Lagian gue bisa bilang sama Pak Mus kalau gue udah ngerjain PR.
Dan gak usah kedinginan di luar kelas sama cewek galak kayak lo!!!”
Sadar, Nit. Dia rela nemenin lo. Tanya hati
kecil lo. Lo juga menginginkannya kan?
batin
Anita.
“Jangan!!!”
“Sudah
kutebak!!!”
Hujan semakin deras. Anita kini sudah memakai
jaket yang dipinjamkan Rian. Anita melihat layar ponsel. Desember selalu saja
hujan. Menambah syahdu bulan ini.
Rian sesekali mencuri pandang ke Anita. Ragu untuk mengajaknya bicara.
“Mana PR lo? Gue mau
nyalin”, ucap Anita memecah kesunyian.
Rian memberikan bukunya pada
Anita, setelah dia mengambil beberapa lembar kertas.
Lo, cantik kalau lo kayak gitu Nit, batin Rian.
“Buat apa kertas-kertas
itu?”
“Liat aja nanti”.
Anita begitu cepat menyalin
PR. Begitu selesai diberikannya lagi buku Rian.
“Ternyata kamu baik juga”,
celetuk Anita.
“Apa??”
“Gak apa-apa, lupakan saja”.
Dasar ceroboh, bisanya keceplosan gitu, batin Anita.
***
Anita seperti biasa selalu
terburu-buru ke sekolah. Sifat cerobohnya tidak hilang-hilang. Dilemparkannya
tas sekolah ke atas meja sesampainya di ruangan kelas X-3. Segera ia menemui
Karra, siswa yang dikenal sebagai ratu gossip di kelas.
“Kar, kemarin lo buat gossip
apaan tentang gue?”
“Gue sih gak buat”.
“Yakin lo?” tanya Anita
sambil melototi Karra.
“Sumpah!!! Cuma anak-anak
aja yang udah narik kesimpulan sendiri. Dan mereka udah tahu kalau ketua OSIS
mereka ternyata pemalas”, kata Karra saat hendak meninggalkan Anita.
“Oke, gue nggak peduli,
lagipula gue udah bosen harus jaga image
sebagai anak baik-baik. Gue cuma pengen jadi kayak mereka bisa menjadi diri
sendiri”, gumam Anita.
Anita pun meninggalkan
Karra. Saat Anita beranjak menuju depan, Rian mencegatnya. Kontan saja Anita
kaget. Anita berharap-harap cemas dalam hati agar tak ada hal aneh yang
terjadi.
“Nit, ikut gue yuk”, ajak
Rian.
“Ke mana?”
“Ada, pokoknya lo harus ikut
gue!!” paksa Rian.
“Oke, gue setuju, lagian gue
bete banget hari ini”.
“Ambil tas lo!”
“Tas??? Buat apa???”
“Ambil aja, lo akan tahu
sendiri ntar”.
***
Angin bertiup dengan kencang membawa hawa yang
kering. Bau laut menguar di udara. Anita dan Rian berjalan di pasir pantai yang
basah. Mereka berdua menatap biru laut dan langit yang dihiasi putihnya awan
yang bertebaran di luasnya cakrawala.
“Well, lumayan buat ngelupain masalah di sekolah, thanks anyway”, ucap Anita.
“Sama-sama. Nit, lo gak
apa-apa kan bolos?”
“Sesekali gak apa-apalah,
lagian juga gue butuh refreshing juga
neh”.
“Sori buat yang kemarin. Gue
terpaksa boong”.
“Dasar kurang ajar lo!!!”
Anita menyipratkan air laut ke tubuh Rian dan mengenai seragam putih
abu-abunya.
“Tapi gue udah tebus
kesalahan gue. Begitu gue tahu kalau akan hujan gue langsung nyusulin elo dan
boong ke Pak Mus”.
Anita bingung tak tahu
maksud dari pembicaraan ini. Rian masih saja berdiri di depannya. Suasana
hening seketika.
“Nit, lo tahu hari apa ini?”
“Hari Rabu. Bukan hari ulang
tahun gue juga”.
“Siapa yang tanya hari ulang
tahunmu dodol!”
“Eh lo kok malah nyebelin
Yan!”
“Becanda Nit, coba
inget-inget deh Nit”.
Anita melihat layar
ponselnya. Tertulis tanggal 11 Desember 2013. Pikiran anehnya mulai terangsang
dan membayangkan hal-hal negatif.
“ 11 Desember 2013. 11-12-13
angka cantik. Tunggu-tunggu gue harus waspada jangan-jangan gue bakalan dapet
kesialan ketiga,” pikir Anita.
“Gue udah tahu, dan gue
harap gak ada yang aneh pada hari ini”.
“Non, hari ini tuh tanggal
cantik. Tapi nggak secantik lo sih”.
“Mulai nyebelin lagi!!”
“Nit, gue mau ngomong serius
ma elo”.
“Okee, gue dengerin tapi
awas kalau lo ngehina gue lagi”.
“Gak Nit”.
“Lanjutkan!”
“Nit, gue sayang ma elo.
Maksud gue, gue cinta banget ma elo. Elo mau gak jadi cewek gue?”
Anita bengong gak tahu harus
ngomong apa ke Rian. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Pipinya
memerah, tersipu. Rasanya campur aduk. Bukan kesialan yang menimpanya melainkan
kebahagian ditembak oleh cowok se-cool dan
secakep Rian.
Anita mengangguk.
Mengiyakan. Sebuah pelukan hangat mendarat di tubuh Anita. Rian mengeluarkan
dua buah perahu mainan yang terbuat dari kertas yang dibuatnya tempo hari dan
memberikannya satu ke Anita. Mereka kemudian menaruh perahu-perahu ke air yang
segera terbawa ombak menuju lautan lepas.
“Perahu itu akan menyusuri
lautan, seperti kita yang akan menyusuri kehidupan kita di masa yang akan
datang”, bisik Rian ke Anita.
“Gue juga berhara kelak suatu
hari nanti, lo akan menjadi nahkoda yang akan membawa perahu cinta kita”, tutur
Anita yakin.
“Gue janji, gue akan menjadi
yang terbaik buat lo, Nit.”
“Apaan sih, gak usah serius
banget kali. Kita jalani saja yang ada. Karena kalau kita berjodoh semuanya
akan berjalan dengan baik”, ucap Anita dengan tegas.
Rian mengambil tangan Anita.
Menggenggamnya erat tak mau melepaskannya. Seiring dengan angin yang bertiup
membawa perahu kertas itu, cinta mereka bertumbuh.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.