>

Kamis, 13 Februari 2014

L’histoire D’automne

L’histoire D’automne
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tak lagi bersamamu?”
“Maksutmu?” tanyaku penuh selidik.
“Lupakan saja, aku hanya bercanda”.
Kutatap mata biru perempuan itu dan kuelus rambut pirang strowberynya, kudekap tubuhnya kini.
“Lihatlah dalam setiap daun maple yang berguguran di situ ada warna yang berbeda”, ucapnya lirih.
“Seperti kita kan?”
“Aku tak perlu menjawab hal itu”, katanya sambil merapikan syal di lehernya.
Perlahan udara Oktober, yang tidak terlalu panas, lembap dan tidak juga begitu dingin menyapa diriku. Aku begitu menikmati kencan musim gugurku bersama Belle di Mount Royal Park. Kunikmati sesi jalan-jalan ini dengan menikmati warna dedaunan musim gugur. Setelah puas berjalan-jalan, kami kemudian menuju Beaver Lake. Kulihat riak air di danau buatan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa dalam danau ini dan berapa banyak ikan yang hidup di sana. Sebuah pertanyaan yang bodoh. Kunikmati pemandangan air danau dan pepohonan di sekitarnya, sesekali Belle mengajakku bercanda, dan memuji kaus abu-abu berlengan panjang yang kukenakan.
“Aku ingin bersamamu, menikmati hari-hari indah kita”, ucap Belle saat melihat Salib Mount Royal yang berada di puncak Mount Royal. Kata-katanya lebih seperti doa daripada sebuah harapan kosong.
“Aku juga sayang”, bisikku.
“Ayo, kita ke Mount Royal Chalet!” ajak Belle.
“Apa itu?”
“Kau akan melihatnya sendiri, dan kau tak akan menyesal”, jawab Belle.
Sesampainya di Mount Royal Chalet, kulihat sebuah bangunan yang berada dekat dengan puncak Mount Royal. Kunikmati bangunan bersejarah ini, begitu indah.
“Lihat!!!” pekik Belle sambil menunjuk ke arah selatan dari teras bangunan ini.
“Wowww… indahnya, temaram lampu dari gedung-gedung tinggi di pusat kota Montreal bertebaran menghiasi senja ini”, kataku penuh antusias.
“Sudah kubilang kau tak akan menyesal”.
***
Angin musim gugur menerbangkan daun-daun maple dan daun lainnya yang meranggas. Aku masih saja berdiri mematung melihat semua itu. Kurapikan jaket hangat yang kukenakan dan bersiap meninggalkan semua kenangan ini bersama angin musim gugur Montreal yang bertiup lembut.
 “Kau sudah siapkah?”
Suara itu membawaku kembali ke dunia nyata, bangun dari lamunanku. Lamunan yang begitu nyata. Aku masih bisa mendengar dengan jelas suara Belle.
 “Mungkin”, jawabku lirih.
“Sing, kalau kau memang tak siap, kau bisa menunda kepulanganmu”, ujar Anisa sambil menyentuh punggungku.
“Terlalu banyak kenangan yang tertinggal di Montreal bersama Belle, bahkan di setiap daun maple yang berguguran di sana ada kenangan manis”. Kuambil sehelai daun maple berwarna jingga. Warna kesukaan Belle. Sesekali kulihat wajah Belle muncul dalam setiap daun maple jingga. Delusi yang selalu kualami. Menggangu. Tapi aku tak kuasa untuk menampiknya apalagi mengenyahkan semua itu.
“Aku tahu, tapi ini sudah hampir dua tahun berlalu”, ucap Anisa.
“Bagiku ini seperti kemarin”, tukasku dengan nada yang tak bersahabat.
“Baiklah, aku memang tidak begitu tahu tentang ceritamu, maukah kau menceritakannya untukku?”
Kurasa kau masih belum bisa melupakannya, Sing, batin Anisa.
“Bahkan di setiap daun maple yang berguguran, di situ terselip kisah kami berdua”, jawabku pelan.
***
Pagi itu adalah pagi yang cerah, aku baru saja melangkahkan kakiku menuju University of Montreal, kampus di mana aku menimba ilmu bahasa Perancis. Aneh memang kenapa aku tidak sekalian ke Perancis untuk belajar. Tapi menurutku di masyarakat yang bilingual ini setidaknya aku bisa melancarkan bahasa Perancis dan Inggrisku. Akan sangat bermanfaat bagiku belajar di Montreal. Kulihat banyak mahasiswa lain yang juga sedang berjalan ke kampus.
“Singgih, wait for me!!” Kudengar suara perempuan dari arah belakangku.
Kuhentikan langkahku. Belle, gadis itu berdiri di belakangku memakai sweater dan celana panjang dan juga sepatu yang nyaman di musim ini. Kulihat topi hangat menghiasi kepalanya.
“Belle, bonjour, ça va[1]?”
Bien, et toi[2]?”
Je t’aime[3], kata Belle pelan cenderung samar.
“Maaf aku tak mengerti”, kataku sambil menggelengkan kepalaku.
Tentu saja aku berbohong. Tak mungkin aku tak mengetahui kalimat itu. Kalimat yang romantis. Seperti bahasa Perancis itu sendiri yang terdengar sangat seksi dan romantis di telingaku.
I love you”, katanya dalam bahasa Inggris.
Sejenak aku terdiam dan tak tahu harus berkata apa. Semburat merah terbit di pipi Belle, begitu juga diriku.
Bagaimana bisa aku ditembak cewek? batinku tak percaya.
Kuraih tangannya. Kugenggam erat. Belle, gadis Kanada ini memang spesial, dia selalu tampak ceria. Dan cerah. Aku sudah bersahabat dengannya sejak masa awal-awal aku belajar di sini. Dia selalu mengisi hari-hariku. Jujur aku pun menyukainya. Tapi caranya sungguh membuatku tak percaya.
“Kutunggu jawabanmu nanti siang setelah kuliah usai”.
“Iya”.
“Kutunggu di sini, saat kau tak muncul, aku anggap kau menolakku”.
Belle mendekatiku dan memelukku dengan hangatnya. Aku masih tidak bisa berbuat banyak untuk membalasnya. Inikah cara orang Barat mengungkapkan perasaannya?
***
Salut[4]”, ucapku penuh dengan nada riang.
Hi, finally you come to meet me. I’ve been waiting for you”, kata Belle sambil tersenyum manis.
“Apa yang akan kita lakukan ma chérie[5]?” tanyaku.
Ma chérie?” Dia mengulanginya.
Oui, I love you.”
Belle menarik tanganku dan membimbingku ke arah jalanan depan kampus. Kanan dan kiri jalan itu dihiasi pohon maple.
“Kau pernah melihat yang seperti itu?” tanyanya sambil menunjuk daun-daun maple yang berwarna warni.
Never, this is my first time”.
“Very beautiful, right?”
Aku mengangguk. Belle mulai mengambil beberapa daun maple dan mulai menaburkannya di atas kepalaku. Aku terkejut. Dia hanya tertawa.
***
Dua minggu setelah itu Belle mengajakku ke Mount Royal Park untuk menikmati musim gugur. Di situ kami menikmati pemandangan bukit di kota Montreal yang berada di sebelah barat pusat kota. Kami berdua berjalan santai di jalan setapak yang diapit pepohonan yang daun-daunnya berwarna-warni khas musim gugur.
***
“Tapi kebahagiaan ini tak berlangsung lama”.
“Kenapa? Apa yang terjadi Singgih?”
“Sudahlah Anisa, biarkan saja aku yang tahu”.
Kuputar memoriku kembali. Butiran bening pun membasahi pipiku.
“Kau menangis?”
Aku tak menjawab. Aku bangkit dari tempat dudukku. Kuambil beberapa daun maple yang mengering. Kutaburkan di atas kepalaku. Sejenak kulihat bayangan Belle di sampingku dengan senyumannya.
Brakkkkk….
Kembali kudengar suara mobil yang menabrak seseorang. Aku berlari ke sana kemari. Tak kutemui apa pun. Hanya halusinasi.
***
“Belle, jangan berlari, kau harus melihat jalanan…,” teriakku.
“Tenang saja Sing, kau lihat tak ada mobil yang lewat”, jawabnya sambil terkekeh.
Namun, gelap yang tengah meliputi Mount Royal itu menyembunyikan mobil yang tengah melaju kencang di jalanan yang tengah kami lewati dan malangnya hari itu juga adalah hari terakhir Belle. Tubuh Belle terhempas ke sisi jalan setelah di hantam mobil itu dengan kerasnya. Darah mengalir dari kepalanya, kudekap erat tubuh Belle yang tak berdaya.
“Tetaplah merindukanku, saat kau masih merindukanku, kau berarti masih mencintaiku”, ucap Belle terbata-bata.
Masih kuingat dengan jelas kata-kata terakhir Belle, dan kini aku masih memakai kaus abu-abu berlengan panjang yang masih berlumuran bekas darahnya yang telah mengering di balik jaketku. Aku benar-benar mencintaimu Belle.
“Inilah kisah musim gugurku. Dan aku masih merindukanmu Belle”, kataku sambil menahan tangis.
Anisa, gadis berambut hitam itu mendekatiku dan memberikanku sebuah pelukan. “Kau masih merindukannya, dan kau masih sangat mencintainya”, kata Anisa sambil menepuk punggungku.
Sudahlah Sing, aku tak ingin pria setampan kamu menangis, seandainya aku bisa membuatmu bahagia bersamaku. Aku rela pergi ke masa lalu dan menghilangkan sesi pertemuanmu dengan Belle. Seandainya kau tahu aku sangat mencintaimu Singgih..., ucap Anisa dalam hati.
“Aku tahu segalanya”, bisik Anisa.
***




[1] Selamat pagi, apa kabar?
[2] Baik, dan kamu?
[3] Aku cinta kamu
[4] Hai
[5] Kekasihku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.