L’histoire
D’automne
“Apa yang akan kau lakukan
jika aku tak lagi bersamamu?”
“Maksutmu?” tanyaku penuh
selidik.
“Lupakan saja, aku hanya
bercanda”.
Kutatap mata biru perempuan
itu dan kuelus rambut pirang strowberynya, kudekap tubuhnya kini.
“Lihatlah dalam setiap daun
maple yang berguguran di situ ada warna yang berbeda”, ucapnya lirih.
“Seperti kita kan?”
“Aku tak perlu menjawab hal
itu”, katanya sambil merapikan syal di lehernya.
Perlahan udara Oktober, yang
tidak terlalu panas, lembap dan tidak juga begitu dingin menyapa diriku. Aku
begitu menikmati kencan musim gugurku bersama Belle di Mount Royal Park.
Kunikmati sesi jalan-jalan ini dengan menikmati warna dedaunan musim gugur.
Setelah puas berjalan-jalan, kami kemudian menuju Beaver Lake. Kulihat riak air
di danau buatan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa dalam danau ini dan
berapa banyak ikan yang hidup di sana. Sebuah pertanyaan yang bodoh. Kunikmati
pemandangan air danau dan pepohonan di sekitarnya, sesekali Belle mengajakku
bercanda, dan memuji kaus abu-abu berlengan panjang yang kukenakan.
“Aku ingin bersamamu,
menikmati hari-hari indah kita”, ucap Belle saat melihat Salib Mount Royal yang
berada di puncak Mount Royal. Kata-katanya lebih seperti doa daripada sebuah
harapan kosong.
“Aku juga sayang”, bisikku.
“Ayo, kita ke Mount Royal
Chalet!” ajak Belle.
“Apa itu?”
“Kau akan melihatnya
sendiri, dan kau tak akan menyesal”, jawab Belle.
Sesampainya di Mount Royal
Chalet, kulihat sebuah bangunan yang berada dekat dengan puncak Mount Royal.
Kunikmati bangunan bersejarah ini, begitu indah.
“Lihat!!!” pekik Belle
sambil menunjuk ke arah selatan dari teras bangunan ini.
“Wowww… indahnya, temaram
lampu dari gedung-gedung tinggi di pusat kota Montreal bertebaran menghiasi
senja ini”, kataku penuh antusias.
“Sudah kubilang kau tak akan
menyesal”.
***
Angin musim gugur
menerbangkan daun-daun maple dan daun lainnya yang meranggas. Aku masih saja
berdiri mematung melihat semua itu. Kurapikan jaket hangat yang kukenakan dan
bersiap meninggalkan semua kenangan ini bersama angin musim gugur Montreal yang
bertiup lembut.
“Kau sudah siapkah?”
Suara itu membawaku kembali
ke dunia nyata, bangun dari lamunanku. Lamunan yang begitu nyata. Aku masih
bisa mendengar dengan jelas suara Belle.
“Mungkin”, jawabku lirih.
“Sing, kalau kau memang tak
siap, kau bisa menunda kepulanganmu”, ujar Anisa sambil menyentuh punggungku.
“Terlalu banyak kenangan
yang tertinggal di Montreal bersama Belle, bahkan di setiap daun maple yang
berguguran di sana ada kenangan manis”. Kuambil sehelai daun maple berwarna
jingga. Warna kesukaan Belle. Sesekali kulihat wajah Belle muncul dalam setiap
daun maple jingga. Delusi yang selalu kualami. Menggangu. Tapi aku tak kuasa
untuk menampiknya apalagi mengenyahkan semua itu.
“Aku tahu, tapi ini sudah
hampir dua tahun berlalu”, ucap Anisa.
“Bagiku ini seperti
kemarin”, tukasku dengan nada yang tak bersahabat.
“Baiklah, aku memang tidak
begitu tahu tentang ceritamu, maukah kau menceritakannya untukku?”
Kurasa kau masih belum bisa melupakannya, Sing, batin Anisa.
“Bahkan di setiap daun maple
yang berguguran, di situ terselip kisah kami berdua”, jawabku pelan.
***
Pagi itu adalah pagi yang
cerah, aku baru saja melangkahkan kakiku menuju University of Montreal, kampus
di mana aku menimba ilmu bahasa Perancis. Aneh memang kenapa aku tidak sekalian
ke Perancis untuk belajar. Tapi menurutku di masyarakat yang bilingual ini
setidaknya aku bisa melancarkan bahasa Perancis dan Inggrisku. Akan sangat
bermanfaat bagiku belajar di Montreal. Kulihat banyak mahasiswa lain yang juga
sedang berjalan ke kampus.
“Singgih, wait for me!!” Kudengar suara perempuan
dari arah belakangku.
Kuhentikan langkahku. Belle,
gadis itu berdiri di belakangku memakai sweater dan celana panjang dan juga
sepatu yang nyaman di musim ini. Kulihat topi hangat menghiasi kepalanya.
“Belle, bonjour, ça va[1]?”
“Bien, et toi[2]?”
“Je t’aime[3]”,
kata Belle pelan cenderung samar.
“Maaf aku tak mengerti”,
kataku sambil menggelengkan kepalaku.
Tentu saja aku berbohong.
Tak mungkin aku tak mengetahui kalimat itu. Kalimat yang romantis. Seperti
bahasa Perancis itu sendiri yang terdengar sangat seksi dan romantis di
telingaku.
“I love you”, katanya dalam bahasa Inggris.
Sejenak aku terdiam dan tak
tahu harus berkata apa. Semburat merah terbit di pipi Belle, begitu juga
diriku.
Bagaimana bisa aku ditembak cewek? batinku tak percaya.
Kuraih tangannya. Kugenggam
erat. Belle, gadis Kanada ini memang spesial, dia selalu tampak ceria. Dan
cerah. Aku sudah bersahabat dengannya sejak masa awal-awal aku belajar di sini.
Dia selalu mengisi hari-hariku. Jujur aku pun menyukainya. Tapi caranya sungguh
membuatku tak percaya.
“Kutunggu jawabanmu nanti
siang setelah kuliah usai”.
“Iya”.
“Kutunggu di sini, saat kau
tak muncul, aku anggap kau menolakku”.
Belle mendekatiku dan
memelukku dengan hangatnya. Aku masih tidak bisa berbuat banyak untuk
membalasnya. Inikah cara orang Barat mengungkapkan perasaannya?
***
“Salut[4]”,
ucapku penuh dengan nada riang.
“Hi, finally you come to meet me. I’ve been waiting for you”, kata
Belle sambil tersenyum manis.
“Apa yang akan kita lakukan ma chérie[5]?”
tanyaku.
“Ma chérie?” Dia mengulanginya.
“Oui, I love you.”
Belle menarik tanganku dan
membimbingku ke arah jalanan depan kampus. Kanan dan kiri jalan itu dihiasi
pohon maple.
“Kau pernah melihat yang
seperti itu?” tanyanya sambil menunjuk daun-daun maple yang berwarna warni.
“Never, this is my first time”.
“Very beautiful, right?”
Aku mengangguk. Belle mulai
mengambil beberapa daun maple dan mulai menaburkannya di atas kepalaku. Aku
terkejut. Dia hanya tertawa.
***
Dua minggu setelah itu Belle
mengajakku ke Mount Royal Park untuk menikmati musim gugur. Di situ kami
menikmati pemandangan bukit di kota Montreal yang berada di sebelah barat pusat
kota. Kami berdua berjalan santai di jalan setapak yang diapit pepohonan yang
daun-daunnya berwarna-warni khas musim gugur.
***
“Tapi kebahagiaan ini tak
berlangsung lama”.
“Kenapa? Apa yang terjadi Singgih?”
“Sudahlah Anisa, biarkan
saja aku yang tahu”.
Kuputar memoriku kembali.
Butiran bening pun membasahi pipiku.
“Kau menangis?”
Aku tak menjawab. Aku
bangkit dari tempat dudukku. Kuambil beberapa daun maple yang mengering. Kutaburkan
di atas kepalaku. Sejenak kulihat bayangan Belle di sampingku dengan
senyumannya.
Brakkkkk….
Kembali kudengar suara mobil
yang menabrak seseorang. Aku berlari ke sana kemari. Tak kutemui apa pun. Hanya
halusinasi.
***
“Belle, jangan berlari, kau
harus melihat jalanan…,” teriakku.
“Tenang saja Sing, kau lihat
tak ada mobil yang lewat”, jawabnya sambil terkekeh.
Namun, gelap yang tengah
meliputi Mount Royal itu menyembunyikan mobil yang tengah melaju kencang di
jalanan yang tengah kami lewati dan malangnya hari itu juga adalah hari
terakhir Belle. Tubuh Belle terhempas ke sisi jalan setelah di hantam mobil itu
dengan kerasnya. Darah mengalir dari kepalanya, kudekap erat tubuh Belle yang
tak berdaya.
“Tetaplah merindukanku, saat
kau masih merindukanku, kau berarti masih mencintaiku”, ucap Belle
terbata-bata.
Masih kuingat dengan jelas
kata-kata terakhir Belle, dan kini aku masih memakai kaus abu-abu berlengan
panjang yang masih berlumuran bekas darahnya yang telah mengering di balik
jaketku. Aku benar-benar mencintaimu Belle.
“Inilah kisah musim gugurku.
Dan aku masih merindukanmu Belle”, kataku sambil menahan tangis.
Anisa, gadis berambut hitam
itu mendekatiku dan memberikanku sebuah pelukan. “Kau masih merindukannya, dan kau
masih sangat mencintainya”, kata Anisa sambil menepuk punggungku.
Sudahlah Sing, aku tak ingin pria setampan kamu menangis, seandainya aku
bisa membuatmu bahagia bersamaku. Aku rela pergi ke masa lalu dan menghilangkan
sesi pertemuanmu dengan Belle. Seandainya kau tahu aku sangat mencintaimu
Singgih..., ucap Anisa
dalam hati.
“Aku tahu segalanya”, bisik
Anisa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.