AKU PERNAH DIBERITAHU
bahwa jarak antara kebohongan dan kejujuran mirip antara jarak guntur dan
hujan—yang disebut belakangan tidak pernah jauh di belakang. Namun sekarang,
meskipun awan-awan gelap menaungi lereng bukit di atas tanah pemakaman tempat ibuku akan segera dimakamkan, aku tahu
hari ini tidak akan hujan, tidak hari ini[i].
***
Aku masih menatap tajam
sosok yang terbaring tak berdaya di sebuah kotak berbentuk berlian. Di sebelah
kotak dengan panjang kira-kira 84 inci kulihat adikku masih saja sesengukan.
Matanya masih menatap ruang di dalam yang luasnya 28 inci dan tingginya 23
inci. Tidak begitu luas. Mata para
pelayat tak juga beralih dari peti jenazah ibuku, pun dari sosok kami berdua.
“Aku tak bisa
membayangkan bisa berada di sebuah acara pemakaman yang berbeda dari yang lain.
Sungguh aneh!” Suara salah satu pelayat.
“Betul. Entah apa yang
mendiang wasiatkan hingga memilih peti berwarna merah. Atau ini mungkin inisiatif kedua anak
perempuannya,” duga seorang pelayat berambut pirang.
“Sudahlah, warna merah
memiliki banyak arti. Mungkin itu warna kesukaan mendiang, bukankah ini
pemandangan yang baru daripada biasanya banyak yang memakai warna putih untuk
peti mati,” ucap seorang wanita tua yang menimpali pembicaraan dua wanita
sebelumnya. Wanita tua itu pun kemudian mendaratkan bokongnya di deretan bangku
di depan kedua wanita tadi yang masih saja bergosip.
***
Aku sadar semua
keganjilan ini akan menimbulkan tanya di benak orang yang melihatnya. Tapi aku
dan adikku—kembaranku tepatnya tak bisa berbuat lebih kecuali hanya menuruti
semua permintaan ibuku. Permintaan yang selalu di ucapkannya seusai pulang dari
acara pemakaman. Kulihat lagi sosoknya yang memakai gaun berwarna ungu, warna
yang dia pilih. Aku merasa seperti berada di peti itu, terbaring di dalamnya.
Bagaimana aku tidak merasakan hal itu; ibuku, aku dan adikku memakai gaun
yang model dan warnanya sama dan yang
pasti berbeda dari para pelayat yang memakai baju serbahitam. Aku tak pernah
bertanya kenapa, biarakanlah semua misteri ini terkubur bersama jasat ibuku.
“Josephine, kita harus
menaruh bunga-bunga mawar pesanan Ibu di genggamannya,” ujar Mary adikku.
Aku masih terdiam
melihat isi peti itu, sebuah perasaan yang aku pun tak tahu bergejolak dalam pikiranku.
“Jos, kau baik-baik
saja?” tanya Mary sambil mengangsurkan bunga-bunga mawar berwarna-warni
kepadaku.
Aku mengangguk, tanganku
menyentuh kedua mataku yang sembab. Aku ingat sekali bahkan tak ada setetes
airmata yang menetes. Apa aku saja yang lupa? tanyaku dalam
hati. Kulihat Mary, wajahnya tampak seperti biasa tak ada bekas kesedihan yang
melekat. Rambutnya yang kemerahan ditatanya dengan cantik, seperti layaknya
ketika mau mengantarkan ibuku ke gereja di setiap Minggu. Aku bahkan hanya
menata sekenanya saja rambutku. Tubuhku terasa sangat lelah, walaupun aku tahu
semua persiapan pemakaman ini diatur oleh Mary.
“Putih untuk
kesucian,”bisik Mary sambil meletakkan setangkai mawar putih di atas tangan
ibuku yang sudah kaku.
“Kuning untuk suka
cita.”
“Merah muda untuk terima
kasih.”
“Oranye untuk semangat.”
“Hijau untuk kedamaian.”
“Peach untuk apresiasi.”
“Biru untuk
kesempurnaan.” Kudengar suara Mary bergetar saat meletakkan mawar biru itu.
Tepat setelah aku meletakkan mawar peach.
Untuk apa membawa mawar biru yang sangat mahal itu,batinku. Mawar hasil rekayasa genetika berwarna lebih kewarna lavender itu
kudapat dengan susah payah di sebuah toko bunga di pusat kota London.
“Hitam untuk kebencian.”
Suaraku lama tercekat di tenggorokan sebelum
bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mawar ini juga kudapatkan dengan
memesan terlebih dahulu. Mawar yang tumbuh alami di Halfeti, sebuah kota di
Turki ini menguras dalam kantongku. Belum juga aku mengangkat tanganku, Mary
sudah meletakkan setangkai mawar merah tepat di rangkaian teratas.
Merah untuk cinta.
Aku terkejut mendengar
suara itu. Segera kulihat Mary, mulutnya tak terbuka sama sekali. Aku tahu itu
bukan suaranya. Bukan juga suaraku. Kulihat kembali mawar-mawar itu, sekilas
kulihat wajah ibuku, riasannya tipis layaknya riasan yang selalu dia pakai
semasa hidup. Tanganku seakan melekat di atas tumpukan mawar-mawar itu. Kutatap
lekat mawar merah itu, warnanya semakin lama semakin memudar, mencair menjadi
cairan kental yang serupa dengan warna peti mati. Amis mulai menguar di udara.
Kulihat jasad ibuku tenggelam dalam cairan darah itu. Seketika saja tubuhku
limbung antara pusing dengan bau amis ini dan tak percaya pada apa yang
kulihat.
Lamat-lamat kudengar
suara Mary menyadarkanku. Mary mulai memapahku berdiri. Peti mati itu pun
segera kututup setelah semua selesai.
Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Mengetahui semua prosesi
telah selesai, pastor pun mulai misa ini. Semua pelayat tenggelam dalam doa.
***
Kulihat peti mati
ibuku dililit beberapa tali di atas makamnya yang terbuka. Tak kuhiraukan
udara bulan November yang semakin dingin, dan aku yakin hari ini tak akan hujan
karena saat ini sudah mendekati musim dingin. Mary berdiri dengan tegar di
sana.
Katakan Josephine, katakan yang sebenarnya!
Ibu??? Kukernyitkan
dahiku. Peti itu mulai memasuki tanah, pelan tapi pasti. Aku semakin ketakutan
tak tahu harus bagaimana.
Katakan!!!
Suara itu terdengar
dengan jelas di telingaku. Kulirikkan manik mataku ke arah Mary. Dia tak
bergeming masih larut dalam kekhusyukan doa. Peti itu telah menyentuh dasar
liang lahat, aku yakin kalau hanya aku saja yang mendengarnya.
Katakan atau kau ingin menemaniku ke liang lahat!!!
Sebuah tamparan mendarat
di pipiku, lebih panas dari yang pernah kurasakan. Tapi tak berwujud. Aku mulai
membuka mulut, “Ibuku mati bukan karena kecelakaan. Aku mendorongnya dari
lantai dua, karena aku tak terima dia akan memberikan semua warisannya ke
Mary.”
***
[i] Cerpen ini ditulis untuk tantangan
#KalimatPertama dari @KampusFiksi dua kalimat pertama dalam cerpen ini diambil
dari novel The Grave of God’s Daughter karya Brett Ellen Block. Sebuah novel
yang membuat saya larut dalam kehidupan imigran Polandia di sebuah kota di
Amerika Serikat. Novel ini juga dikemas dengan misteri-misteri tentang
kehidupan ibu si tokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.