>

Jumat, 28 Februari 2014

The Roses



AKU PERNAH DIBERITAHU bahwa jarak antara kebohongan dan kejujuran mirip antara jarak guntur dan hujan—yang disebut belakangan tidak pernah jauh di belakang. Namun sekarang, meskipun awan-awan gelap menaungi lereng bukit di atas tanah pemakaman  tempat ibuku akan segera dimakamkan, aku tahu hari ini tidak akan hujan, tidak hari ini[i].
***
Aku masih menatap tajam sosok yang terbaring tak berdaya di sebuah kotak berbentuk berlian. Di sebelah kotak dengan panjang kira-kira 84 inci kulihat adikku masih saja sesengukan. Matanya masih menatap ruang di dalam yang luasnya 28 inci dan tingginya 23 inci.  Tidak begitu luas. Mata para pelayat tak juga beralih dari peti jenazah ibuku, pun  dari sosok kami berdua.
“Aku tak bisa membayangkan bisa berada di sebuah acara pemakaman yang berbeda dari yang lain. Sungguh aneh!” Suara salah satu pelayat.
“Betul. Entah apa yang mendiang wasiatkan hingga memilih peti berwarna merah.  Atau ini mungkin inisiatif kedua anak perempuannya,” duga seorang pelayat berambut pirang.
“Sudahlah, warna merah memiliki banyak arti. Mungkin itu warna kesukaan mendiang, bukankah ini pemandangan yang baru daripada biasanya banyak yang memakai warna putih untuk peti mati,” ucap seorang wanita tua yang menimpali pembicaraan dua wanita sebelumnya. Wanita tua itu pun kemudian mendaratkan bokongnya di deretan bangku di depan kedua wanita tadi yang masih saja bergosip.
***
Aku sadar semua keganjilan ini akan menimbulkan tanya di benak orang yang melihatnya. Tapi aku dan adikku—kembaranku tepatnya tak bisa berbuat lebih kecuali hanya menuruti semua permintaan ibuku. Permintaan yang selalu di ucapkannya seusai pulang dari acara pemakaman. Kulihat lagi sosoknya yang memakai gaun berwarna ungu, warna yang dia pilih. Aku merasa seperti berada di peti itu, terbaring di dalamnya. Bagaimana aku tidak merasakan hal itu; ibuku, aku dan adikku memakai gaun yang  model dan warnanya sama dan yang pasti berbeda dari para pelayat yang memakai baju serbahitam. Aku tak pernah bertanya kenapa, biarakanlah semua misteri ini terkubur bersama jasat ibuku.
“Josephine, kita harus menaruh bunga-bunga mawar pesanan Ibu di genggamannya,” ujar Mary adikku.
Aku masih terdiam melihat isi peti itu, sebuah perasaan yang aku pun  tak tahu bergejolak dalam pikiranku.
“Jos, kau baik-baik saja?” tanya Mary sambil mengangsurkan bunga-bunga mawar berwarna-warni kepadaku.
Aku mengangguk, tanganku menyentuh kedua mataku yang sembab. Aku ingat sekali bahkan tak ada setetes airmata yang menetes.  Apa aku saja yang lupa? tanyaku dalam hati. Kulihat Mary, wajahnya tampak seperti biasa tak ada bekas kesedihan yang melekat. Rambutnya yang kemerahan ditatanya dengan cantik, seperti layaknya ketika mau mengantarkan ibuku ke gereja di setiap Minggu. Aku bahkan hanya menata sekenanya saja rambutku. Tubuhku terasa sangat lelah, walaupun aku tahu semua persiapan pemakaman ini diatur oleh Mary.
“Putih untuk kesucian,”bisik Mary sambil meletakkan setangkai mawar putih di atas tangan ibuku yang sudah kaku.
“Kuning untuk suka cita.”
“Merah muda untuk terima kasih.”
“Oranye untuk semangat.”
“Hijau untuk kedamaian.”
“Peach untuk apresiasi.”
“Biru untuk kesempurnaan.” Kudengar suara Mary bergetar saat meletakkan mawar biru itu. Tepat setelah aku meletakkan mawar peach.
Untuk apa membawa mawar biru yang sangat mahal itu,batinku. Mawar hasil rekayasa genetika berwarna lebih kewarna lavender itu kudapat dengan susah payah di sebuah toko bunga di pusat kota London.
“Hitam untuk kebencian.” Suaraku lama tercekat di tenggorokan sebelum  bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mawar ini juga kudapatkan dengan memesan terlebih dahulu. Mawar yang tumbuh alami di Halfeti, sebuah kota di Turki ini menguras dalam kantongku. Belum juga aku mengangkat tanganku, Mary sudah meletakkan setangkai mawar merah tepat di rangkaian teratas.
Merah untuk cinta.
Aku terkejut mendengar suara itu. Segera kulihat Mary, mulutnya tak terbuka sama sekali. Aku tahu itu bukan suaranya. Bukan juga suaraku. Kulihat kembali mawar-mawar itu, sekilas kulihat wajah ibuku, riasannya tipis layaknya riasan yang selalu dia pakai semasa hidup. Tanganku seakan melekat di atas tumpukan mawar-mawar itu. Kutatap lekat mawar merah itu, warnanya semakin lama semakin memudar, mencair menjadi cairan kental yang serupa dengan warna peti mati. Amis mulai menguar di udara. Kulihat jasad ibuku tenggelam dalam cairan darah itu. Seketika saja tubuhku limbung antara pusing dengan bau amis ini dan tak percaya pada apa yang kulihat.
Lamat-lamat kudengar suara Mary menyadarkanku. Mary mulai memapahku berdiri. Peti mati itu pun segera kututup setelah semua selesai.  Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Mengetahui semua prosesi telah selesai, pastor pun mulai misa ini. Semua pelayat tenggelam dalam doa.
***
Kulihat peti mati ibuku  dililit beberapa tali  di atas makamnya yang terbuka. Tak kuhiraukan udara bulan November yang semakin dingin, dan aku yakin hari ini tak akan hujan karena saat ini sudah mendekati musim dingin. Mary berdiri dengan tegar di sana.
Katakan Josephine, katakan yang sebenarnya!
Ibu??? Kukernyitkan dahiku. Peti itu mulai memasuki tanah, pelan tapi pasti. Aku semakin ketakutan tak tahu harus bagaimana.
Katakan!!!
Suara itu terdengar dengan jelas di telingaku. Kulirikkan manik mataku ke arah Mary. Dia tak bergeming masih larut dalam kekhusyukan doa. Peti itu telah menyentuh dasar liang lahat, aku yakin kalau hanya aku saja yang mendengarnya.
Katakan atau kau ingin menemaniku ke liang lahat!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipiku, lebih panas dari yang pernah kurasakan. Tapi tak berwujud. Aku mulai membuka mulut, “Ibuku mati bukan karena kecelakaan. Aku mendorongnya dari lantai dua, karena aku tak terima dia akan memberikan semua warisannya ke Mary.”
***






[i]  Cerpen ini ditulis untuk tantangan #KalimatPertama dari @KampusFiksi dua kalimat pertama dalam cerpen ini diambil dari novel The Grave of God’s Daughter karya Brett Ellen Block. Sebuah novel yang membuat saya larut dalam kehidupan imigran Polandia di sebuah kota di Amerika Serikat. Novel ini juga dikemas dengan misteri-misteri tentang kehidupan ibu si tokoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.