“Kau percaya takdir?”
tanyanya polos.
“Takdir???” tanyaku ragu.
“Ketentuan atau
ketetapan Tuhan itulah takdir,” jawabnya
diplomatis.
Bagaimana aku bisa mempercayai takdir itu, jika aku saja tak tahu apakah
Tuhan itu ada atau tidak,
batinku.
“Mungkin,” kujawab lirih.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku percaya dengan sepenuh
hatiku, seperti bertemu denganmu adalah takdirku.” Sebentuk senyum menghiasi
wajahnya yang membuatku tak bosan untuk menatapnya. Pertemuan pertama itu
sangat berkesan untukku.
****
Ambil pisau itu. Potong lidahnya. Lidah yang tak bisa dipercaya
janjinya. Bunuh dia. Apa kau tidak paham juga? Dia telah mengkhianatimu. Menduakanmu.
Dan parahnya kau berusaha untuk tetap bersamanya padahal kau tahu, dia akan
meninggalkanmu. Sendirian. Ya. Kau tak bisa lagi bersamanya. Dia tak pantas
lagi hidup.
“Hentikan!!!” pekiknya
memecah kesunyian pagi itu. Entah sudah berapa kali bisikan-bisikan itu singgah
di telinganya.
“Haruskah aku melakukan
itu?” tanyanya dalam hati.
“Drddddddd….” Suara getar
ponsel membuyarkan lamunannya. Dengan segera dia mengangkat telpon itu.
“Kau sudah siap mon chéri[1]?”
“Sebentar lagi, aku pasti
datang kau tenang saja, dan jangan panggil aku mon chéri lagi, bukankah kita sudah sepakat tidak akan menggunakan
nama panggilan itu lagi?”
“Tapi, aku ma….”
Kata-kata itu tak sempat
terselesaikan. Sambungan telpon itu telah diputus. Lelaki itu bersiap dan
segera memakai jas hitamnya. Diliriknya sebuah pisau lipat yang tergeletak di atas
meja. Diambilnya pisau lipat itu. Dimasukkannya di dalam sakunya.
Bagus. Itu yang harus kau lakukan. Kau harus menghabisinya hari ini juga
atau kau akan menyesalinya.
Suara itu terdengar lagi menggema di kepalanya. Kini diikuti tawa
bengis. Lelaki itu bersiap untuk pergi.
****
Ruangan itu penuh dengan
nuansa putih nan suci. Langkahnya terasa berat saat menjejakkan kakinya di
ruangan itu. Semua orang di dalamnya tampak senang, senyum menghiasi wajah
mereka. Hanya lelaki ini yang tidak merasakan hal itu. Mendung.
Lelaki ini menatap setiap
orang di situ. Berharap segera mendapatkan sosok yang dia cari. Kekasihnya.
Dulu. Tapi tidak sekarang. Hatinya berkecamuk, entah apa yang akan dikatakannya
saat dia bertemu.
“Andre, kau datang juga?” Sebuah
suara terdengar dari arah belakang.
“Kenapa kau ada di sini,
Andrew?” tanya Andre heran.
“Dia mengundangku juga, aku
pernah dekat dengannya walaupun sebentar.”
“Ya. Aku tahu. Dan kaulah
yang merusak hubunganku dengannya.”
Andrew tersenyum pahit. Dia
menepuk punggung Andre dan berkata, “tapi kini bahkan tak ada di antara kita
yang bisa memilikinya”
“Dia telah menemukan
takdirnya.”
Takdirnya bukanlah kau. Kau harus menyadarinya dan melakukan sesuatu.
Sebuah senyum menghiasi
wajah Andre. Senyum palsu. Bertemu dengan Andrew membuat emosinya mendidih.
Orang tak tahu diri itu bahkan tidak meminta maaf atas apa yang telah dia
lakukan padanya.
Dia dan Andrew harus kau musnahkan. mereka berdua tak ubahnya seperti
parasit. Setelah mendapatkan apa yang
diinginkan, kau kini dibuang. Camkan itu!
“Lihat saja nanti kau akan
melihat sebuah pertunjukan yang sebenarnya”, ucap Andrew ketus sambil berlalu
meninggalkan Andre.
“Kau juga!” jawab Andre
dalam hati.
Sebuah tangan menarik tangan
Andre dari belakang. Mengenggam erat. Hangat. Seolah tak peduli. Tanpa
melihatnya pun, Andre sudah tahu tangan siapa itu. Perasaannya campur aduk,
antara senang dan sedih. Senang bisa merasakan tangan itu lagi. Sedih karena
hal ini adalah yang terakhir baginya.
“Kau datang juga,”. bisiknya
lembut.
“Aku akan menepati janjiku,
Pandu tidak seperti…”
Kata-kata itu tak sempat
terselesaikan saat Pandu menutup mulut Andre. Dituntunnya Andre menuju arah
belakang. Tangannya masih mengenggam erat.
“Kau kelihatan lebih tampan
dari pada sebelumnya, kau pasti sangat bahagia Pandu.”
“Akan lebih bahagia lagi
jika aku bisa menghabiskan waktuku bersamamu, sampai akhir nafasku,” ucap Pandu
pelan sambil mengusap pipi Andre.
“Kau harus bertanggung jawab
dengan apa yang telah kau perbuat, seperti yang sering kau katakan padaku dulu.”
Pandu mendekatkan tubuhnya
ke Andre. Andre mendorongnya. Secara fisik dan emosional. Menampiknya. Namun,
Pandu tak mau menyerah begitu saja, dia mendorong Andre ke dinding dan
memeluknya dengan erat. Tangan Pandu mulai mengusap pipi Andre, tak terasa
butiran bening itu menetes dan mengenai tangan Pandu.
“Kau menangis?”
“Seperti yang kau lihat,
tapi ini adalah tangisan bahagia. Aku akan bahagia saat melihat orang yang
kucintai bahagia. Kau adalah takdirku”.
“Maaf, tapi aku tak bisa
menepati janji-janjiku, aku masih mencintaimu. Sungguh mencintaimu….”
Pandu mendekatkan wajahnya
ke wajah Andre, menempelkan bibirnya ke bibir Andre dan bersiap untuk
melumatnya, Seperti yang mereka lakukan dulu. Andre mendorong tubuh Pandu, tak
ingin melakukan hal itu lagi.
“Sejak kapan kau percaya
takdir?”
“Sejak aku mulai
mencintaimu, sejak aku menemukan keyakinanku kembali.”
“Pandu, sudah waktunya kau
ke depan, Marianne sudah menunggumu. Dia sudah bersiap untuk berjalan bersamamu
menuju altar,” kata Andre sambil merapikan kemeja putih yang dikenakan Pandu.
“Kumohon untuk terakhir
kalinya, aku ingin merasakan hangat pelukan tubuhmu Andre.”
Andre memeluknya penuh
dengan cinta. Hal yang tak akan dia lakukan lagi dengan Pandu setelah dia resmi
menikah dengan Marianne.
Ambil pisau itu tolol. Ini kesempatan yang bagus.
Andre sedikit merengangkan pelukan
Pandu. Pisau itu sudah berada digenggamannya.
Tusuk sekarang! Jangan menusuknya! Tusuk sekarang! Kau harus
merelakannya….
“Tidakkkk!!! Aku tak bisa melakukannya,
aku akan bahagia saat dia bahagia,” kata Andre dalam hati.
Jiwanya bergejolak.
Dimasukkannya lagi pisau itu. Mengeratkan kembali pelukannya. Bibir Pandu dan
Andre pun bersatu dalam hangatnya cinta.
Dasar tolol. Kau akan merasakannya nanti. Kehilangan kekasihmu untuk
selamanya.
Pandu dan Marianne kini
telah berjalan menuju altar. Musik yang mengalun membuat suasana semakin terasa
romantis. Senyum itu masih menghiasi wajah Andre. Palsu.
Dilihatnya Andrew yang
tengah duduk di bangku satu deret di depannya. Andrew tengah sibuk mengeluarkan
sesuatu dari balik sakunya, saat Pandu dan Marianne semakin mendekat ke altar.
Kembali Andre mendengar suara dikepalanya, diambilnya pisau itu lagi.
Satu langkah lagi mereka
sampai di depan altar, tiba-tiba saja suara bising memecah suasana syahdu ini,
orang-orang mulai berlarian saat melihat asap yang muncul. Saat itulah Andrew
mulai bangkit dan berjalan menuju Pandu, dikeluarkannya sebuah pisau lipat dari
tangannya, dan bersiap untuk menusukkannya ke tubuh Pandu.
Dengan cepat Andre berlari
menuju Pandu saat menyadari hal yang tidak wajar. Pisau itu kini di tangannya.
“Mati kau brengsek!!!” kata
Andrew sambil menusukkan pisau itu ke
tubuh Pandu.
Bruukkk, tubuh itu terjatuh
terkulai, darah bersimbah dari tubuhnya.
“Mencintaimu adalah takdirku,”
kata Andre di pelukan Pandu dan napas pun tak berhembus lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.