>

Kamis, 10 Juli 2014

Mon Chéri et I

“Kau percaya takdir?” tanyanya polos.
“Takdir???” tanyaku ragu.
“Ketentuan atau ketetapan  Tuhan itulah takdir,” jawabnya diplomatis.
Bagaimana aku bisa mempercayai takdir itu, jika aku saja tak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, batinku.
“Mungkin,” kujawab lirih.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku percaya dengan sepenuh hatiku, seperti bertemu denganmu adalah takdirku.” Sebentuk senyum menghiasi wajahnya yang membuatku tak bosan untuk menatapnya. Pertemuan pertama itu sangat berkesan untukku.
****
Ambil pisau itu. Potong lidahnya. Lidah yang tak bisa dipercaya janjinya. Bunuh dia. Apa kau tidak paham juga? Dia telah mengkhianatimu. Menduakanmu. Dan parahnya kau berusaha untuk tetap bersamanya padahal kau tahu, dia akan meninggalkanmu. Sendirian. Ya. Kau tak bisa lagi bersamanya. Dia tak pantas lagi hidup.
“Hentikan!!!” pekiknya memecah kesunyian pagi itu. Entah sudah berapa kali bisikan-bisikan itu singgah di telinganya.
“Haruskah aku melakukan itu?” tanyanya dalam hati.
“Drddddddd….” Suara getar ponsel membuyarkan lamunannya. Dengan segera dia mengangkat telpon itu.
“Kau sudah siap mon chéri[1]?”
“Sebentar lagi, aku pasti datang kau tenang saja, dan jangan panggil aku mon chéri lagi, bukankah kita sudah sepakat tidak akan menggunakan nama panggilan itu lagi?”
“Tapi, aku ma….”
Kata-kata itu tak sempat terselesaikan. Sambungan telpon itu telah diputus. Lelaki itu bersiap dan segera memakai jas hitamnya. Diliriknya sebuah pisau lipat yang tergeletak di atas meja. Diambilnya pisau lipat itu. Dimasukkannya di dalam sakunya.
Bagus. Itu yang harus kau lakukan. Kau harus menghabisinya hari ini juga atau kau akan menyesalinya.
 Suara itu terdengar lagi  menggema di kepalanya. Kini diikuti tawa bengis. Lelaki itu bersiap untuk pergi.
****
Ruangan itu penuh dengan nuansa putih nan suci. Langkahnya terasa berat saat menjejakkan kakinya di ruangan itu. Semua orang di dalamnya tampak senang, senyum menghiasi wajah mereka. Hanya lelaki ini yang tidak merasakan hal itu. Mendung.
Lelaki ini menatap setiap orang di situ. Berharap segera mendapatkan sosok yang dia cari. Kekasihnya. Dulu. Tapi tidak sekarang. Hatinya berkecamuk, entah apa yang akan dikatakannya saat dia bertemu.
“Andre, kau datang juga?” Sebuah suara terdengar dari arah belakang.
“Kenapa kau ada di sini, Andrew?” tanya Andre heran.
“Dia mengundangku juga, aku pernah dekat dengannya walaupun sebentar.”
“Ya. Aku tahu. Dan kaulah yang merusak hubunganku dengannya.”
Andrew tersenyum pahit. Dia menepuk punggung Andre dan berkata, “tapi kini bahkan tak ada di antara kita yang bisa memilikinya”
“Dia telah menemukan takdirnya.”
Takdirnya bukanlah kau. Kau harus menyadarinya dan melakukan sesuatu.
Sebuah senyum menghiasi wajah Andre. Senyum palsu. Bertemu dengan Andrew membuat emosinya mendidih. Orang tak tahu diri itu bahkan tidak meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan padanya.
Dia dan Andrew harus kau musnahkan. mereka berdua tak ubahnya seperti parasit. Setelah  mendapatkan apa yang diinginkan, kau kini dibuang. Camkan itu!
“Lihat saja nanti kau akan melihat sebuah pertunjukan yang sebenarnya”, ucap Andrew ketus sambil berlalu meninggalkan Andre.
“Kau juga!” jawab Andre dalam hati.
Sebuah tangan menarik tangan Andre dari belakang. Mengenggam erat. Hangat. Seolah tak peduli. Tanpa melihatnya pun, Andre sudah tahu tangan siapa itu. Perasaannya campur aduk, antara senang dan sedih. Senang bisa merasakan tangan itu lagi. Sedih karena hal ini adalah yang terakhir baginya.
“Kau datang juga,”. bisiknya lembut.
“Aku akan menepati janjiku, Pandu tidak seperti…”
Kata-kata itu tak sempat terselesaikan saat Pandu menutup mulut Andre. Dituntunnya Andre menuju arah belakang. Tangannya masih mengenggam erat.
“Kau kelihatan lebih tampan dari pada sebelumnya, kau pasti sangat bahagia Pandu.”
“Akan lebih bahagia lagi jika aku bisa menghabiskan waktuku bersamamu, sampai akhir nafasku,” ucap Pandu pelan sambil mengusap pipi Andre.
“Kau harus bertanggung jawab dengan apa yang telah kau perbuat, seperti yang sering kau katakan padaku dulu.”
Pandu mendekatkan tubuhnya ke Andre. Andre mendorongnya. Secara fisik dan emosional. Menampiknya. Namun, Pandu tak mau menyerah begitu saja, dia mendorong Andre ke dinding dan memeluknya dengan erat. Tangan Pandu mulai mengusap pipi Andre, tak terasa butiran bening itu menetes dan mengenai tangan Pandu.
“Kau menangis?”
“Seperti yang kau lihat, tapi ini adalah tangisan bahagia. Aku akan bahagia saat melihat orang yang kucintai bahagia. Kau adalah takdirku”.
“Maaf, tapi aku tak bisa menepati janji-janjiku, aku masih mencintaimu. Sungguh mencintaimu….”
Pandu mendekatkan wajahnya ke wajah Andre, menempelkan bibirnya ke bibir Andre dan bersiap untuk melumatnya, Seperti yang mereka lakukan dulu. Andre mendorong tubuh Pandu, tak ingin melakukan hal itu lagi.
“Sejak kapan kau percaya takdir?”
“Sejak aku mulai mencintaimu, sejak aku menemukan keyakinanku kembali.”
“Pandu, sudah waktunya kau ke depan, Marianne sudah menunggumu. Dia sudah bersiap untuk berjalan bersamamu menuju altar,” kata Andre sambil merapikan kemeja putih yang dikenakan Pandu.
“Kumohon untuk terakhir kalinya, aku ingin merasakan hangat pelukan tubuhmu Andre.”
Andre memeluknya penuh dengan cinta. Hal yang tak akan dia lakukan lagi dengan Pandu setelah dia resmi menikah dengan Marianne.
Ambil pisau itu tolol. Ini kesempatan yang bagus.
Andre sedikit merengangkan pelukan Pandu. Pisau itu sudah berada digenggamannya.
Tusuk sekarang! Jangan menusuknya! Tusuk sekarang! Kau harus merelakannya….
“Tidakkkk!!! Aku tak bisa melakukannya, aku akan bahagia saat dia bahagia,” kata Andre dalam hati.
Jiwanya bergejolak. Dimasukkannya lagi pisau itu. Mengeratkan kembali pelukannya. Bibir Pandu dan Andre pun bersatu dalam hangatnya cinta.
Dasar tolol. Kau akan merasakannya nanti. Kehilangan kekasihmu untuk selamanya.
Pandu dan Marianne kini telah berjalan menuju altar. Musik yang mengalun membuat suasana semakin terasa romantis. Senyum itu masih menghiasi wajah Andre. Palsu.
Dilihatnya Andrew yang tengah duduk di bangku satu deret di depannya. Andrew tengah sibuk mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya, saat Pandu dan Marianne semakin mendekat ke altar. Kembali Andre mendengar suara dikepalanya, diambilnya pisau itu lagi.
Satu langkah lagi mereka sampai di depan altar, tiba-tiba saja suara bising memecah suasana syahdu ini, orang-orang mulai berlarian saat melihat asap yang muncul. Saat itulah Andrew mulai bangkit dan berjalan menuju Pandu, dikeluarkannya sebuah pisau lipat dari tangannya, dan bersiap untuk menusukkannya ke tubuh Pandu.
Dengan cepat Andre berlari menuju Pandu saat menyadari hal yang tidak wajar. Pisau itu kini di tangannya.
“Mati kau brengsek!!!” kata Andrew sambil  menusukkan pisau itu ke tubuh Pandu.
Bruukkk, tubuh itu terjatuh terkulai, darah bersimbah dari tubuhnya.
“Mencintaimu adalah takdirku,” kata Andre di pelukan Pandu dan napas pun tak berhembus lagi.



[1] kekasihku dalam bahasa Prancis kata-kata tersebut berjenis maskulin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.