Judul Buku :
Hoppipolla
Penulis :
Dedek Fidelis Sinabutar, dkk.
Penerbit :
deKa Publishing
Kota Terbit :
Subang
Tahun
Terbit :
Januari 2014
ISBN :
978-602-7915-43-5
Buku kumpulan cerpen yang berjudul “Hoppipola”
ini merupakan kumpulan cerpen para pemenang cerpen pilihan UNSA (Untuk Sahabat)
2013 sebuah grup kepenulisan yang aktif di facebook. Setiap tahunnya grup ini
mengadakan lomba cerpen pilihan dengan tema tertentu. Buku kumpulan cerpen ini
ditulis oleh 12 penulis yang pastinya memiliki gaya kepenulisan masing-masing.
Cerpen-cerpen dalam buku ini antara lain; Hoppipola,
Karnaval Cinta, Tangan Penyembuh, Watu Loreng, Mimbar Tua Baiturrahim, Sang
Pelopor, Tumbal, Selendang Ungu Negeri Trawang Jagat, Beruang di Mimpiku,
Tembok Kutukan, Sayrah Tujuh Ruh dalam Raga yang Satu, dan terakhir Titisan Khidir.
Buku kumpulan cerpen “Hoppipolla,”
secara tidak langsung membuat pembaca tertarik karena tema yang disajikan yang
menjadi benang merah dalam buku ini berbeda dari buku-buku kumpulan cerpen
lainnya, yaitu realisme magis. sesuatu yang mungkin bagi pembaca awam masih
asing. Dengan membaca buku ini pembaca akan mengerti apa itu realisme magis,
terlepas dari penjelasan di awal buku. Hal inilah yang memberikan nilai plus
untuk buku ini.
Di antara 12 cerpen ini, ada tiga
yang menurut saya paling menarik. Ketiga cerpen itu adalah Hoppipola, Watu Loreng, dan Titisan Khidir.
Cerpen pertama, Hoppipola ditulis oleh Dedek Fidelis Sinabutar, cerpen ini
dijadikan judul buku dan berkisah tentang pemuda pengangguran dengan seekor
ikan mas koki yang bisa dilihatnya tapi tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Ikan Mas Koki yang mungkin nyata atau tidak nyata. Judul cerpen ini juga
meninggalkan tanya, apa arti dari kata itu? Karena tak ada penjelasan dalam
cerpen ini mengenai hal itu.
Cerpen yang kedua, Watu Loreng ditulis oleh M. Hasbi AS,
berkisah tentang sekelompok kru televisi yang melakukan tugas liputan di sebuah desa di lereng gunung
Merbabu. Sebuah desa misterius yang bernama Desa Tanpa Cahaya. Desa ini tak
mengizinkan tamu lebih dari lima orang. Rasa magis dalam cerpen ini begitu
terasa dan ketika membaca ini bulu kuduk sempat berdiri mesti di siang hari.
Cerpen ketiga, Titisan Khidir ditulis oleh Sandza, berkisah tentang seorang anak
yang memiliki kemampuan lebih yang pada awalnya sangat positif pada
lingkungannya. Hingga pada suatu hari ia mengaku sebagai titisan Nabi Khidir,
dan lama-kelamaan ia mennyebabkan kekacauan daklam negerinya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis
dengan gaya kepenulisan yang berbeda-beda, mulai dari sudut pandang sampai
settingnya.
Kekurangan dalam buku ini adalah
dalam editing khususnya pada kata sambung dalam dialog. Misalnya, “Hanya
menikmatinya saja Ustaz.” jawabku sambil tersenyum. (halaman 57) harusnya, “Hanya menimatinya saja Ustaz,” jawabku
sambil tersenyum. Hampir semua kata sambung dialog dalam buku ini ditulis
seperti itu.
Pada akhirnya buku ini cocok dibaca
oleh mereka yang ingin mendapatakan sesuatu yang berbeda, yang bisa menambah
pengetahuan khasanah sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.