>

Minggu, 25 Mei 2014

Yotsuba No Clover No Ai

 “Onii chan[1], aku nggak mau kehilangan kamu,” rengek seorang gadis kecil sambil menggoyangkan tubuh lawan bicaranya.
“Hikari-chan[2], kita nggak akan berpisah, kalau kamu merindukanku, lihatlah langit anggaplah awan itu sebagai aku, saat kau lihat awan putih yang sedang asyik berlarian, aku lagi senang, dan saat kau lihat awan mendung kau tahukan artinya?” kata Kazuki sambil mengenggam tangan Hikari.
 “Onii chan, ini buat kamu,” kata Hikari sambil memberikan seikat bunga-bunga liar pada Kazuki.
Trims.
“Kamu lagi nyari apa?”
“Semanggi.
“Lihat Onii chan, bukankah di sini ada banyak.
Bukan, aku nyari yang gak kayak gitu, coba kamu lihat daunnya.
“Ada tiga daun.
“Cari yang berdaun empat, kalau kamu nemuin semanggi berdaun empat kamu bisa membuat permintaan kepada keempat daunnya, semanggi seperti itu sangat langka.
Kedua anak kecil itu tenggelam dalam pencarian mereka. Hingga sore, mereka tak menemukannya. Hikari kelelahan, akhirnya Kazuki memutuskan untuk menggendongnya saat  pulang.

***
Delapan tahun kemudian,  bulan Maret aku bergembira menyambut datangnya musim semi. Setiap orang menantikan munculnya kuncup-kuncup bunga pohon sakura.
Kususuri areal satoyama[3] itu lagi untuk pertama kalinya semenjak kepergianku. Perjalanan yang cukup melelahkan dari pusat kota Tokyo yang memakan waktu sekitar setengah hari. Sasayama masih sama, areanya masih dihiasi persawahan, dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung. Masih jarang toko dan restoran besar di kota ini.
 “Hei, lagi ngapain kamu?” Kudengar sebuah suara memanggilku, aku masih sibuk mencari semanggi, tak kutolehkan kepalaku ke sumber suara. Suara itu terdengar semakin mendekat.
Kamu denger atau nggak?” seloroh suara itu.
“Iya,” jawabku kesal.
Kulihat bayangan itu mendekatiku, aku masih tidak menghiraukannya. Sosok lelaki itu kini telah berada di sampingku, dia menatapku penuh keheranan.
“Ketemu!!!Aku setengah berteriak saat aku hendak memetik semanggi berdaun empat itu. Belum sempat aku mendaratkan tanganku ke semanggi itu kusentuh tangannya yang telah mendahuli berada di atas daun itu. Kurasakan getaran aneh yang muncul saat aku menyentuh tangannya. Tanganku  bergetar.
“Aku duluan yang nemuin!Kudorong sosok lelaki itu dari sampingku.
“Tapi aku dulu yang menyentuhnya,” jawab lelaki itu pelan.
Kuarahkan tanganku hendak memetik semanggi itu, namun tanganku ditampiknya dengan keras. Dia mulai berceramah. Aku tak mendengarkan apa yang dia katakan, yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya menghentikan ocehannya dan segera mungkin untuk membuat permintaan kepada setiap helai daun semanggi itu.
“Awas, ada ular di sampingmu,” ucapku berbohong padanya.
“Haahhh,” jawabnya terkejut dan meninggalkan semanggi itu.
Kudekati daun semanggi itu, kupegang tangkainya. Aku mulai berdoa dalam hati, “Aku hanya menginginkan bisa bertemu lagi dengan Kazuki.”
“Heyy, apa yang kamu lakuin? Bukankah kau bilang ada ular di sana?”
Bukan urusanmu!!!” tukasku.
***
Awal April ketika bunga-bunga sakura mulai bermekaran, aku mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan, keluarga Nakano telah pulang, aku  segera menuju Sasayama.  Kulihat potret Kazuki-kun[4] yang digantung di dinding rumah, dia telah tumbuh menjadi remaja yang tampan dan memiliki hidung yang mancung. Ibunya menyerahkan sebuah surat dan meminjamkan sebuah guci kecil. Tempat abu jenazah Kazuki. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dear Hikari-chan,
 Bawalah abu jenazahku ke satoyama, di sana kita pernah membuat janji dan aku ingin menepatinya. Lanjutkan hidupmu, temukan cintamu. Sankyu[5].
Nakano Kazuki
Kutatap langit biru itu, kuyakinkan diriku bahwa dia pun telah bahagia di sana, kubawa guci abu jenazahnya menuju satoyama, akhirnya setelah sekian lama terpisah aku pun bisa bersatu lagi dengannya meski kini tak kutemui sosoknya lagi. Kubaringkan tubuhku dan kuletakkan guci itu tepat di sampingku, aku merasa bahwa kini aku sedang bersamanya, kurasakan sosoknya muncul dalam alam pikiranku.
Kudengar suara langkah kaki yang mendekat, lambat namun pasti langkah itu menuju ketempatku berdiam. Aku masih tak memperdulikannya yang ada dalam pikiranku adalah aku hanya ingin bersama Oniichan-ku untuk saat ini, menghabiskan waktu terakhir bersamanya sebelum aku kembali ke Tokyo dan bersiap menghadapi masa-masa SMA.
“Heyy?” sapanya ramah.
Kutolehkan wajahku kearahnya, dengan segera tanganku menyeka bekas air mataku, kutatap sosok itu dengan saksama, entah antara ilusi atau kenyataan tapi aku seakan melihat sosok Onii chan-ku sedang berdiri di sampingku. Lelaki itu begitu mirip dengannya, kulihat sebuah kamera yang dikalungkan di lehernya.
 “Kamu ngapain di sini?” ujarku sambil bangkit. Kurasakan gejolak aneh yang tiba-tiba saja muncul sama seperti saat aku menyentuh tangan si kaca mata.
“Wah, ternyata cewek semanggi,” katanya sambil menatapku dalam-dalam.
Cewek semanggi, siapa?” tanyaku celingukan.
Kamu.”
“Si kaca mata?”
 “Aku punya nama. Enoki Ichiro.
“Otsu Hikari.
Sepersekian detik kemudian kurasakan keheningan, tak ada kata yang terucap dari mulut kami berdua. Enoki sibuk mengabadikan matahari tenggelam dari areal persawahan. Perasaanku tak keruan, bingung antara dia dan Kazuki.
***
Setelah jam sekolah berakhir, aku ingin melihat latihan kendo[6] di ruang olah raga. Kudapati dua orang yang tengah berlatih, kutemukan sosok Ichiro saat dia melepas men[7] nya. Aku bertanya dalam hati, apakah ini kebetulan juga? Terlalu banyak kebetulan yang kutemui hingga aku tak bisa menerimanya. Aku segera berlari, tapi Ichiro memanggilku, “Hikari, kamu sekolah di sini juga?”
Aku hanya mengangguk.
***
 “Hikari, kau ditunggu seseorang di atap sekolah,” kata Rika teman yang duduk di sebelahku.
“Siapa?”
“Lebih baik kau segera ke sana saja, kau akan mengetahuinya nanti.”
“Trims.”
***
 “Kau datang juga.”
“Kamu menyuruhku ke sini?”
“Aku ingin mengajakmu ke festival Tanabata, kamu mau?”
Aku mengangguk, lagi pula aku tak punya rencana di musim panas ini.
***
Langit malam begitu cerah, ribuan bintang berkelip menghiasi malam nan damai. Aku mengenakan sebuah yukata[8] berwarna pink.
“Sudah lama menunggu?” kata Ichiro menyadarkanku dari lamunan.
Aku menggeleng.
“ Ayo kita jalan-jalan sambil menunggu kembang api.”
Aku berjalan di sampingnya  bagiku itu adalah momen yang sangat membahagiakan. Aku menghentikan langkahku saat kulihat orang-orang yang sedang sibuk menulis permohonan di tanzaku[9].  Kuambil yang berwarna merah kutuliskan harapanku, kuberikan satu yang berwarna hijau ke Ichiro, dia pun melakukan hal yang sama.
Kembang api mewarnai langit malam ini, kunikmati setiap percikannya bersamanya.
“Ichiro-kun,  aku mencintaimu.” Kuucapkan dengan jelas dan penuh keberanian.
“Gomenne[10], seandainya aku menemui terlebih dulu,jawabnya pelan. Dia memeluk tubuhku, kurasakan sensasi yang bercampur, kupaksakan untuk menahan air mata.






[1] kakak laki-laki.
[2]  sebutan kehormatan untuk teman dekat, wanita muda, kekasih, teman.
[3] area tanah di antara gunung dan daerah pertanian, secar tipikal area ini terdapat persawahan dan hutan.
[4] akhiran sebutan kehormatan untuk anak laki-laki, teman laki-laki, remaja laki-laki.
[5] terima kasih
[6] seni bela diri Jepang yang menggunakan pedang
[7] pelindung kepala dalam olah raga kendo
[8] kimono dari bahan yang tipis yang biasa dipakai di musim panas
[9] kertas kecil warna warni yang digantungkan di pohon harapan yang terbuat dari bambu.
[10] maaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.