>

Kamis, 22 Mei 2014

Resensi Kumpulan Cerpen “Hoppipolla”

Judul Buku                                           : Hoppipolla
Penulis                                                 : Dedek Fidelis Sinabutar, dkk.
Penerbit                                               : deKa Publishing
Kota Terbit                                          : Subang
Tahun Terbit                                         : Januari 2014
ISBN                                                   : 978-602-7915-43-5

Buku kumpulan cerpen yang berjudul “Hoppipola” ini merupakan kumpulan cerpen para pemenang cerpen pilihan UNSA (Untuk Sahabat) 2013 sebuah grup kepenulisan yang aktif di facebook. Setiap tahunnya grup ini mengadakan lomba cerpen pilihan dengan tema tertentu. Buku kumpulan cerpen ini ditulis oleh 12 penulis yang pastinya memiliki gaya kepenulisan masing-masing. Cerpen-cerpen dalam buku ini antara lain; Hoppipola, Karnaval Cinta, Tangan Penyembuh, Watu Loreng, Mimbar Tua Baiturrahim, Sang Pelopor, Tumbal, Selendang Ungu Negeri Trawang Jagat, Beruang di Mimpiku, Tembok Kutukan, Sayrah Tujuh Ruh dalam Raga yang Satu, dan terakhir Titisan Khidir.
Buku kumpulan cerpen “Hoppipolla,” secara tidak langsung membuat pembaca tertarik karena tema yang disajikan yang menjadi benang merah dalam buku ini berbeda dari buku-buku kumpulan cerpen lainnya, yaitu realisme magis. sesuatu yang mungkin bagi pembaca awam masih asing. Dengan membaca buku ini pembaca akan mengerti apa itu realisme magis, terlepas dari penjelasan di awal buku. Hal inilah yang memberikan nilai plus untuk buku ini.
Di antara 12 cerpen ini, ada tiga yang menurut saya paling menarik. Ketiga cerpen itu adalah Hoppipola, Watu Loreng, dan Titisan Khidir.
Cerpen pertama, Hoppipola ditulis oleh Dedek Fidelis Sinabutar, cerpen ini dijadikan judul buku dan berkisah tentang pemuda pengangguran dengan seekor ikan mas koki yang bisa dilihatnya tapi tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ikan Mas Koki yang mungkin nyata atau tidak nyata. Judul cerpen ini juga meninggalkan tanya, apa arti dari kata itu? Karena tak ada penjelasan dalam cerpen ini mengenai hal itu.
Cerpen yang kedua, Watu Loreng ditulis oleh M. Hasbi AS, berkisah tentang sekelompok kru televisi yang melakukan  tugas liputan di sebuah desa di lereng gunung Merbabu. Sebuah desa misterius yang bernama Desa Tanpa Cahaya. Desa ini tak mengizinkan tamu lebih dari lima orang. Rasa magis dalam cerpen ini begitu terasa dan ketika membaca ini bulu kuduk sempat berdiri mesti di siang hari.
Cerpen ketiga, Titisan Khidir ditulis oleh Sandza, berkisah tentang seorang anak yang memiliki kemampuan lebih yang pada awalnya sangat positif pada lingkungannya. Hingga pada suatu hari ia mengaku sebagai titisan Nabi Khidir, dan lama-kelamaan ia mennyebabkan kekacauan daklam negerinya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis dengan gaya kepenulisan yang berbeda-beda, mulai dari sudut pandang sampai settingnya.
Kekurangan dalam buku ini adalah dalam editing khususnya pada kata sambung dalam dialog. Misalnya, “Hanya menikmatinya saja Ustaz.” jawabku sambil tersenyum. (halaman 57) harusnya,  “Hanya menimatinya saja Ustaz,” jawabku sambil tersenyum. Hampir semua kata sambung dialog dalam buku ini ditulis seperti itu.

Pada akhirnya buku ini cocok dibaca oleh mereka yang ingin mendapatakan sesuatu yang berbeda, yang bisa menambah pengetahuan khasanah sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan komentar ya, follow @riefprudence Terima kasih.